News
Jumat, 16 Maret 2018 - 18:06 WIB

Utang Tembus Rp4.000 Triliun, Ini Sanggahan Atas Pembelaan Pemerintah

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi menghitung rupiah. (Rachman/JIBI/Bisnis)

Utang luar negeri pemerintah Indonesia melebihi Rp4.000 triliun. Pemerintah kerap berdalih rasio utang terhadap PDB masih rendah.

Solopos.com, JAKARTA — Pemerintah diminta waspada terhadap utang luar negeri yang mencapai Rp4.035 triliun karena pertumbuhan penerimaan pajak tidak sebanding dengan pertumbuhan utangnya. Selama ini, pemerintah berdalih rasio utang hanya 31% dari total pendapatan domestik bruto (PDB).

Advertisement

Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE mengatakan, pertumbuhan penerimaan pajak pada 2017 hanya 4,3%, sedangkan utang tumbuh sangat pesat mencapai 13,7%. “Itu artinya pemerintah harus berhati-hati, karena pertumbuhan penerimaan pajak [salah satu indikator untuk membayar utang] tidak tumbuh sejalan [dengan utangnya],” katanya kepada Bisnis/JIBI, Jumat (16/3/2018).

Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, kata Faisal, rata-rata pertumbuhan penerimaan negara 2014-2017 mencapai 4%, sementara rata-rata pertumbuhan penerimaan utang mencapai 13%. Sedangkan rata-rata pertumbuhan penerimaan negara 2009-2013 mencapai 10% dengan rata-rata pertumbuhan utang 8%. Baca juga: Risiko BUMN Gagal Bayar, Rasio Utang Negara Bisa Tembus 60%.

Jika pemerintah sering menggunakan indikator loan to GDP, terlihat utang tersebut tidak terlalu mengkhawatirkan karena hanya 31% terhadap PDB. “Sementara Jepang, yang sering dibandingkan [pemerintah] itu tinggi sekali, hampir dua kali DGP-nya [197%],” imbuhnya. Baca juga: Tembus Rp4.000 Triliun, Utang Indonesia Baru Lunas 9 Tahun Lagi.

Advertisement

Namun, utang luar negeri Jepang hanya 5% terhadap total utangnya, dan kepemilikan asing di SBN Jepang hanya 11%. Sememntara itu, ULN Indonesia mencapai 24%, demngan kemepilikan asing di SBN mencapai 40%. “Menganalisa utang harus jauh, dan lebih komprehensif,” imbuhnya.

Selain itu, menurut Faisal, pemerintah masih kesulitan mengumpulkan pajak. Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi (5,07%) tidak berhasil meningkatkan penerimaan pajak yang lebih tinggi, yakni 4,3%. Baca juga: Utang Indonesia Disorot Dunia, Ini Jawaban Sri Mulyani.

Lebih lanjut dia mengatakan tax ratio selalu terus menurun pada beberapa tahun belakangan ini. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, tax ratio non migas plus PPh migas pada tax ratio non migas plus PPh migas pada 2012 (10,15%), 2013 (10,14%), 2014 (9,76%), 2015 (9,1%), 2016 (8,9%), dan 2017 (8,4%).

Advertisement

“Artinya terlihat sekali pemerintah sedang kesulitan mengumpulkan pajak, padahal ekonomi tumbuh, kalau penerimaan tidak bisa diperbaiki, utang juga akan sulit dibayar,” katannya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif