Kolom
Kamis, 1 Maret 2018 - 05:00 WIB

GAGASAN : Membaca Peta Musik di Solo

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Solo City Jazz (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (23/2/2018). Esai ini karya Aris Setiawan, dosen di Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Alamat e-mail penulis adalah segelas.kopi.manis@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Dinas Pariwisata Kota Solo menggelar acara diskusi musik Bincang-Bincang Kreatif pada 20 Februari 2018 di Gedung PN Lokananta. Diskusi itu dihadiri jurnalis, akademisi, dan pelbagai pelaku seni musik, baik karawitan, pop, rock, jazz, blues, keroncong, punk, dangdut, serta music kontemporer lainnya.

Advertisement

Pemantik diskusi adalah Joko Gombloh, seorang etnomusikolog dan pelaku seni musik kontemporer. Solo yang selama ini senantiasa mengultuskan diri sebagai pusat (musik) tradisi ternyata menyimpan berbagai episentrum jenis musik lain yang sayup-sayup belum terbaca dengan jelas.

Wajar kemudian jika musik-musik di luar gamelan dirasa kurang mendapat perhatian. Keluh kesah disampaikan para pelaku musik kepada Pemerintah Kota Solo, utamanya Dinas Pariwisata, agar nasib mereka lebih diperhatikan.

Sebagaimana fokus dinas terkait, perkembangan musik akan senantiasa dihubungkan dengan persoalan kepariwisataan yang mengukur keberhasilan sebuah acara dengan kalkulasi jumlah penonton yang datang.

Semakin banyak pelancong diangggap semakin sukses, begitu pun sebaliknya. Solo kemudian menyulap dirinya sebagai kota festival dan pawai. Hampir tiap bulan kita dapat menyaksikan berbagai acara yang mengusung konsep kepariwisataan walau sering kali tanpa konsep yang matang.

Persoalannya kemudian, kala kota-kota sejenis lain (sebutlah misalnya Jogja, Banyuwangi, dan Bandung) mampu membuat kanal-kanal alternatif pilihan bermusik yang khas (kendhang kempul, hip-hop, rock, dangdut), Solo masih belum membuka diri secara lebih komprehensif.

Kita pun jarang melihat kelompok musik dari Solo yang mampu menembus belantika musik nasional selain grup karawitan yang berulang kali berpentas di luar negeri kendati tak membawa pengaruh apa pun untuk kota Solo.

Selanjutnya Solo menjadi kota tidak ramah bagi music secara umum

Advertisement

Tidak Ramah

Solo menjadi kota yang tidak ramah bagi perkembangan musik secara umum. Terlebih visi kota yang memusatkan perhatian di wilayah konservasi atau pelestarian tradisi (The Spirit of Java) menjadikan detak kehidupan musik terasa stagnan, basi, dan mandeg (jika tak boleh disebut mati).

Pandangan yang digulirkan Gombloh tentang “pascatradisi” (post tradition) menarik untuk dicermati, bahwa sudah saatnya Solo membuka diri dengan berbagai kemungkinan diaspora musik, tanpa harus mengusung satu varian musik sementara menganaktirikan yang lain.

Diskusi yang juga dihadiri oleh beberapa anggota Dewan Perwakilian Rakyat Daerah (DPRD) Kota Solo itu kemudian menjadi acara yang cenderung seremonial.

Sebagaimana lazimnya pejabat, yang diberikan adalah nasihat-nasihat dan petuah-petuah normatif, namun tidak diimbangi dengan laku dan upaya nyata, sebutlah misalnya dengan merumuskan kanal-kanal bermusik yang ideal.

Kita tahu arus utama perkembangan musik di tanah air kita telah berubah. Jika awalnya mengandalkan batas-batas kewilayahan, sekarang menjadi lebih fleksibel dan cair.

Advertisement

Dengan kata lain, kita tidak harus mengandalkan Jakarta sebagai pusat distribusi musik. Setiap wilayah, dengan perkembangan teknologi, utamanya media sosial, dapat menjadi poros baru bagi terciptanya varian musik yang monumental.

Oleh sebab itu, hari ini kita tidak lagi dapat melihat perjuangan-perjuangan musikus-musikus muda yang menyerahkan demo rekaman musik kepada label-label besar di ibu kota sebagaimana derita kelompok musik dahulu kala (baca kisah Shaila on 7).

Berbekal alat rekam video sederhana, seseorang yang tinggal di pelosok kampung dengan seketika dapat menjadi artis dadakan dan digandrungi oleh masyarakat luas. Pemanfaatan media digital dalam hal ini menjadi penting.

Sayangnya, di Solo kanal-kanal virtual tersebut selama ini masih berserakan dan tidak ditata dengan rapi. Satu kelompok musik menyebarkan karya yang cenderung serampangan di Youtube tanpa diimbangi dengan strategi pengelolaan manajemen digital yang baik.

Selanjutnya adalah: Walaupun bagus, karya-karya mereka tak menarik

Tak Menarik

Advertisement

Akibatnya, walaupun bagus, karya-karya mereka tak menarik untuk dilihat dan didengar. Pada titik inilah, pemerintah kota lewat dinas terkait sudah seharusnya mengubah cara berpikir, dari manajemen fisik yang verbal menjadi virtual yang intangible.

Kita tidak lagi dapat mengandalkan pergelaran-pergelaran, festival, atau konser musik yang selama ini mengharap kehadiran tubuh manusia untuk melihat.

Pawai-pawai yang menutup jalan kota, menimbulkan kemacetan, dan sampah berserakan perlu dievaluasi. Pergelaran-pergelaran yang demikian cenderung membuang anggaran, dinikmati oleh warga Solo semata yang akhir-akhir ini justru mulai jenuh dan bosan.

Terlebih dengan hanya menjadikan Solo sebagai tuan rumah penyelenggaraan musik, seperti Solo City Jazz, Solo Keroncong Festival,  yang seringkali menjadi panggung artis-artis ibu kota.

Tahun ini di Solo aka nada konser David Foster dan musikus dunia lain yang akan menggelar konser bertajuk Hitman David Foster & Friends (Solopos, 22 Februari 2018). Nasib musikus-musikusi lokal Solo semakin terpinggirkan di kota mereka sendiri dan tidak terbaca oleh publik.

Menghidupkan gairah musik di Kota Solo tak cukup dengan hanya memberi ruang pentas, kemudian mati sesudahnya. Perlu dengan membuat kanal-kanal digital yang langsung terkoneksi dengan stakeholders, masyarakat luas dan jaringan lintas batas.

Dalam konteks musik, pemerintah dapat membuat bank data kelompok musik beserta karya mereka kemudian dipadatkan dalam satu wadah digital disertai dengan tampilan yang istimewa.

Advertisement

Mengekliknya di media sosial akan terkoneksi dengan pilihan-pilihan musik di Solo yang disertai dengan data dan kontak kelompok terkait. Setiap saat data dapat dimutakhirkan dan dibenahi.

Lewat jalan demikian ini peta musik di Solo dapat dibaca lebih baik, dengan mengacu seberapa banyak mata yang melihat dan mendengarkan lewat jaringan Internet. Pendapatan juga tidak harus dari panggung pementasan, namun kalkulasi jumlah iklan dan  kehadiran “jari” yang mengekliknya.

Selanjutnya Gerakan mencintai music-musik di Solo

Mencintai

Hal yang lebih penting adalah gerakan mencintai musik-musik yang ada di Solo. Strategi Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menjadi menarik untuk dibaca.

Hingga detik ini mereka masih memproduksi cakram compact disk (VCD-DVD) lagu-lagu Kendhang Kempulan yang dijual secara murah meriah, bahkan tak jarang dibagikan kepada sopir-sopir angkutan umum.

Advertisement

Saat kita menaiki bus jurusan Surabaya atau Banyuwangi, dalam perjalanan, lagu-lagu dangdut daerah khas Jawa Timur utamanya Banyuwangi akan diputar bertalu-talu.

Masyarakat menjadi hafal dan panasaran. Hal yang demikian juga terjadi pada varian dangdut koplo Jawa Timur (baca Via Vallen dan Nella Kharisma).

Di Solo kita jarang melihat pemerintah kota mengampayekan musik rock, punk, blues, dangdut, dan sejenisnya–selain lembaga nirbala semacam bentara budaya (Balai Soedjatmoko)–padahal pelakunya relatif banyak, dan utamanya adalah generasi muda.

Cukup disayangkan kemudian jika potensi itu tidak dirawat dan dibiarkan mati begitu saja, sementara kota-kota lain mulai memiliki kesadaran menjadikan musik-musik demikian sebagai ruang kreatif yang menjanjikan.

Diskusi Bincang-Bincang Kreatif tentang musik itu diusulkan untuk digelar secara periodik, tapi tentu saja akan menjadi percuma jika tanpa dilandasi dengan laku dan kerja yang konkret, alias sebatas wacana.

Pada akhirnya kita pun mengenal Solo dengan nang-ning-nong gamelan, melupakan bahwa di sudut kota itu tersebar berbagai jenis musik yang suaranya menunggu untuk didengar.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif