Kolom
Kamis, 15 Februari 2018 - 06:00 WIB

GAGASAN : Guru Honorer

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Roko Patria Jati (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu (7/2/2018). Esai ini karya Roko Patria Jati, dosen di Institut Agama Islam Negeri Salatiga. E-mail penulis adalah bee.ascholar@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Tragedi yang mencoreng dunia pendidikan Indonesia muncul lagi bak serial drama televisi yang terus bersambung.

Advertisement

Kali ini seorang guru seni rupa di sekolah menengah atas di Madura bernama Ahmad Budi Cahyono menjadi korban ”kekerasan” yang dilakukan oleh seorang siswa.

Roko Patria Jati (Istimewa)

Kejadian itu tidak di luar lingkungan sekolahan, melainkan di dalam lingkungan sekolahan, bahkan di dalam kelas saat berlangsung belajar mengajar. Sudah pasti hal ini menjadi wilayah kewenangan guru dan menjadi perhatian serta memunculkan keprihatinan.

Dari sisi hukum, pelaku yang masih duduk di bangku kelas XI termasuk dalam kategori anak di bawah umur sehingga diberlakukan penanganan khusus sebagaimana UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Masyarakat yang merupakan pemangku utama dunia pendidikan di Indonesia perlu kiranya mendapatkan pencerahan sebagai early warning system (sistem peringatan dini) agar terhindar dari kejadian serupa pada kemudian hari.

Jumlah guru honorer di Indonesia menurut catatan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih dari satu  juta orang pada akhir 2017.

Guru honorer sebanyak itu termasuk 252.000 guru berusia di bawah 33 tahun yang telah berijazah sarjana sehingga memenuhi kriteria untuk diangkat menjadi aparatur sipil negara atau pegawai negeri.

Advertisement

Pemerintah masih memiliki tunggakan pekerjaan yang sekian lama tidak terselesaikan untuk segera memberikan kepastian status pada para guru honorer tersebut. Nasib guru honorer yang ”menggantung” sebenarnya berimplikasi pada banyak hal di luar kesejahteraan terkait dengan proses belajar mengajar dan interaksi guru dengan siswa.

Selanjutnya adalah: Pengembangan profesionalisme pendidik terdapat ketimpangan

Ketimpangan

Pengembangan profesionalisme pendidik terdapat ketimpangan antara guru yang berstatus pegawai negeri dengan guru yang berstatus honorer. Kesempatan mengikuti lokakarya, seminar, pelatihan, dan bahkan studi lanjut masih terbatas diberikan kepada yang sudah berstatus pegawai negeri.

Berdasar catatan wawancara dengan beberapa guru honorer yayasan di Kota Solo, pengajuan keinginan studi lanjut yang diusulkan dengan biaya sendiri pun jamak disertai dengan ancaman pemberhentian kerja.

Guru berstatus pegawai negeri telah dilindungi secara kukuh dengan berbagai undang-undang. Tidak demikian halnya dengan guru honorer yang hanya terikat kontrak kerja dengan masing-masing institusi.

Advertisement

Dinas pendidikan di kabupaten/kota atau provinsi yang semestinya melindungi guru honorer juga tidak bisa berbuat banyak manakala suatu saat terjadi persengketaan hubungan kerja.

Asosiasi guru tidak berdaya menyuarakan aspirasi para guru honorer. Berbeda dengan serikat buruh yang terus-menerus menyuarakan kelayakan hidup dan upah minimum.

Dari survei di beberapa sekolahan di Jawa Tengah, dan tampaknya sudah menjadi rahasia umum merata di skala nasional, perekrutan guru honorer kurang disaring dari sisi criteria.

Diakui atau tidak, profesi guru memang memerlukan keterampilan tersendiri yang semestinya ditempati oleh mereka yang merupakan lulusan pendidikan keguruan.

Faktanya banyak posisi guru honorer yang justru diisi oleh sarjana yang bukan berlatar kependidikan. Sementara pekerjaan menjadi guru tidaklah sekadar mentransfer pengetahuan ilmu murni (eksakta, sosial, bahasa, dan lain-lain) melainkan diperlukan pengetahuan serta keterampilan lain yang menyertai.

Selanjutnya adalah: Psikologi perkembangan peserta didik harus dipahami guru

Advertisement

Perkembangan

Psikologi perkembangan peserta didik, misalnya, harus dipahami para guru. Calon guru yang belajar di pendidikan keguruan dituntut mengenali dengan baik kondisi psikologis peserta didik.

Siswa sekolah dasar tentu berbeda dari sisi perkembangan psikologisnya bila dibandingkan dengan siswa sekolah menengah. Belum lagi para siswa akan terus berkembang dari anak-anak menjadi sosok yang secara fisik bahkan melampaui guru mereka.

Dalam mata kuliah desain (perencanaan) pembelajaran para mahasiswa calon guru tidak bisa dinyatakan lulus menempuh mata kuliah ini apabila belum mampu mendesain pembelajaran yang sesuai dengan kondisi peserta didik.

Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran mesti dipahami tidak melulu hanya bersifat deduktif menurunkan dari kurikulum dan silabus melainkan juga bersifat induktif, yakni menyesuaikan kondisi di dalam kelas.

Istilah guru berpengalaman dalam banyak referensi kependidikan selalu dikaitkan dengan guru yang memiliki cukup jam mengajar serta memiliki pengalaman memadai dalam hal pengembangan keterampilan mengajar (melalui penelitian, seminar, dan sebagainya).

Secara formal, pemerintah menjembatani dengan instrumen sertifikasi guru guna menyaring para guru berpengalaman dan kemudian memberikan sertifikat pendidik beserta konsekuensi tunjangan yang menyertai.

Advertisement

Untuk menjadi guru berpengalaman semua guru pasti sebelumnya menjalani fase awal sebagai pemula, biasanya label ini disematkan kepada para sarjana baru (fresh graduate). Para guru pemula tidak perlu minder ketika kali pertama masuk lingkungan sekolahan.

Guru senior atau yang lebih berpengalaman sudah semestinya merangkul para guru pemula dalam sebuah kolaborasi atau kerja bersama, baik diprogramkan secara resmi oleh pengelola sekolahan maupun secara mandiri (inisiatif).

Selanjutnya adalah: Semua pihak memahami arti penting kolaborasi

Kolaborasi

Bila semua pihak memahami arti penting kolaborasi ini, maka setidaknya gap antara guru yang sudah berpengalaman dengan yang pemula dapat diminimalisasi sedemikian rupa, apa pun status kepegawaiannya.

Dengan demikian, peristiwa pembelajaran beserta segala pernik-pernik kendala yang terjadi (di dalam kelas) dapat lebih cepat ditemukan solusinya dengan menerima masukan dari guru lainnya.

Advertisement

Manakala guru menjumpai resistensi dari siswa, misalnya, respons dari guru kiranya bisa lebih ditakar dan terukur menyesuaikan kondisi (konteks).

Guru berpengalaman akan lebih bisa menempatkan diri. Demikian pula ketika ia harus keluar dari rencana pembelajaran yang telah dirancang. Guru memiliki otoritas untuk itu sehingga fleksibel dan tidak kaku.

Otoritas seperti ini yang sering disuarakan oleh para pengamat pendidikan ketika menggugat sistem pendidikan di Indonesia. Pemerintah semestinya lebih mengedepankan otoritas guru beserta kualitas mereka sehingga guru terampil dalam mengelola pembelajaran secara mandiri.

Guru jangan justru disibukkan dengan penyeragaman di level nasional sementara konteks yang dihadapi berbeda-beda.  Bila sudah demikian, kiranya publik tidak perlu khawatir lagi akan terulangnya kejadian nahas seperti yang dialami oleh guru honorer Ahmad Budi Cahyono.

Indonesia harus menyongsong era baru pendidikan nasional dengan peningkatan kualitas guru sesuai kriteria dan mendorong terciptanya kolaborasi antarguru.

Pada gilirannya, kualitas pendidikan kita akan dapat lebih bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya dan bahkan menjadi rujukan dunia.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif