Soloraya
Selasa, 30 Januari 2018 - 09:35 WIB

Pembangunan Masjid Sriwedari Solo Menyalahi “Kodrat”

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Dua arca berwarna merah di lahan eks THR Sriwedari diduga dari masa PB X. (Hijriyah Al Wakhidah/JIBI/Solopos)

Pembangunan masjid di lahan eks THR Sriwedari Solo menyalahi peruntukan kawasan tersebut.

Solopos.com, SOLO — Rencana pembangunan Masjid Taman Sriwedari Solo terus menuai pro dan kontra. Kalangan sejarawan menilai penempatan masjid di Kompleks Taman Sriwedari atau Kebon Raja tersebut adalah sebuah kekeliruan yang fatal.

Advertisement

Sejarawan muda Solo, Heri Priyatmoko, mengungkapkan secara kultural dan blue print yang sudah ada, rencana penempatan masjid di Taman Sriwedari sudah keliru. Menurutnya, secara historis atau kesejarahan, kawasan tersebut untuk kegiatan kesenian dan budaya, bukan ruang ibadah.

Ia mengatakan Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono (PB) X yang membangun Kebon Raja tidak mendirikan langgar atau masjid di ruang publik tersebut. Padahal, dilihat dari segi keislaman, PB X memiliki gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Advertisement

Ia mengatakan Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono (PB) X yang membangun Kebon Raja tidak mendirikan langgar atau masjid di ruang publik tersebut. Padahal, dilihat dari segi keislaman, PB X memiliki gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Baca:

Warga Minta Sosialisasi Rencana Pembangunan Masjid Sriwedari

Advertisement

“Dari era kerajaan hingga kemerdekaan, bahkan reformasi, tak ada pemimpin yang berniat atau  punya gagasan mendirikan [masjid] di kawasan Kebon Raja. Mereka setidaknya sadar fungsi tata ruang dan arena hiburan di kawasan tersebut,” ujarnya kepada Solopos.com, Senin (29/1/2018).

Heri mengatakan bagian penting lain yang tak boleh diabaikan dari rencana pembangunan masjid itu adalah adanya sengketa yang belum klir. Pembangunan pada lahan sengketa bisa menjadi pedang bermata dua.

“Dampaknya bisa ke mana-mana. Salah satunya, yang ditakutkan, masjid justru menjadi monumen konflik, bukan ruang yang adem untuk beribadah,” terangnya.

Advertisement

Ia menyebut beberapa elemen umat Islam menolak pembangunan masjid tersebut. Sebagian kalangan seniman juga tak sependapat atas ide yang menyalahi ‘kodrat’ tersebut.

“Yang paling bahaya adalah kawasan Kebon Raja masih diselimuti konflik,” kata dia tegas.

Sementara itu, anggota Komisi II DPRD Solo, Ekya Sih Hananto, mengatakan pembangunan masjid sudah melalui berbagai tahap yang panjang. Sosialisasi sudah dilakukan Pemkot Solo.

Advertisement

Pemkot juga sudah menggandeng semua pihak dalam mewujudkan masjid itu. “Kemudian Pemkot Solo sudah menjelaskan terkait status lahan bahwa itu tak bermasalah. Maka, segera saja dilaksanakan, tidak masalah. Itu menjadi ikon religi baru di Kota Solo,” ujarnya saat ditemui Solopos.com di kantornya, Senin.

Secara hukum, kalau ahli waris punya bukti yang kuat, mereka bisa mengajukan eksekusi. Institusi yang mengeksekusi mestinya adalah Kejaksaan.
Kalau ahli waris menyatakan putusan hukum sudah inkracht, mereka seharusnya berani melakukan eksekusi tersebut.

“Pemkot tentu juga punya bukti-bukti. Daripada hanya bersuara di luar, mengapa tidak duduk bersama. Saya sebagai anggota DPRD mangga diselesaikan baik-baik. Ini untuk kepentingan orang banyak. Bicara ke depan, untuk kesejahteraaan masyarakat dan menambah religiusitas. Orang luar kota kalau ke Solo bisa mampir di sana untuk beribadah dan menikmati wahana lain yang kini sedang disiapkan,” terang politikus PDIP tersebut.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif