News
Rabu, 10 Januari 2018 - 21:45 WIB

"Bakpao" Antar Fredrich Mantan Pengacara Setnov Jadi Tersangka

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Fredrich Yunandi menunjukkan foto Setya Novanto yang sedang dirawat di RS Medika Permata Hijau, Jakarta, Kamis (16/11/2017). (JIBI/Antara/Galih Pradipta)

KPK menetapkan dua tersangka dalam kasus Setya Novanto.

Solopos.com, JAKARTA — Ingatkah Anda, “benjol sebesar bakpao” yang diungkapkan pengacara Setya Novanto (Setnov) saat itu, Fredrich Yunadi?  Saat itu cukup banyak warga yang mempertanyakan pernyataan Fredrich dengan foto-foto kondisi Setnov yang beredar di Internet, tak ditemukan benjolan sebesar bakpao. Banyak pihak menilai saat itu Setnov termasuk Fredrich bersandiwara.

Advertisement

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua tersangka dugaan tindak pidana dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dugaan tindak pidana korupsi proyek KTP-elektronik atas tersangka Setya Novanto.

“KPK meningkatkan status penanganan perkara tersebut sejalan dengan penetapan dua orang sebagai tersangka,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (10/1/2018) sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara.

Dua tersangka itu, yakni Fredrich Yunadi alasi Fredy Junadi berprofesi sebagai advokat dan dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau Jakarta Barat Bimanesh Sutarjo.

Advertisement

“Fredrich dan Bimanesh diduga bekerja sama untuk memalsukan tersangka Setya Novanto ke Rumah Sakit untuk dilakukan rawat inap dengan data-data medis yang diduga dimanipulasi sedemikian rupa untuk menghindari panggilan dan pemeriksaan oleh penyidik KPK,” ucap Basaria.

Atas perbuatannya tersebut, Fredrich dan Bimanesh disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa dalam perkara korupsi dapat dipidana maksimal 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

Advertisement

“Sebagai salah satu bentuk pemenuhan hak tersangka, KPK telah mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan atau SPDP pada Selasa 9 Januari 2018,” kata Basaria.

Ia menyatakan bahwa lembaganya telah berulang kali mengingatkan pada semua pihak agar menghormati proses hukum yang berlaku dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang menghambat penanganan sebuah perkara, khususnya perkara korupsi KTP-e.

“Sebelumnya, KPK telah menetapkan satu tersangka dengan sangkaan yang sama, yaitu perbuatan menghalang-halangi atau menghambat penanganan kasus korupsi KTP-e dengan tersangka Markus Nari,” ungkap Basaria.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif