Kolom
Selasa, 9 Januari 2018 - 05:00 WIB

GAGASAN : Sukamdani dalam Historiografi Hotel

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (23/12/2017). Esai ini karya Heri Priyatmoko, dosen Sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Alamat e-mail penulis adalah heripri_puspari@yahoo.co.id.

Solopos.com, SOLO–Urip iku nguripi. Demikian serpihan mutiara Jawa yang konsisten diugemi Sukamdani Sahid Gitosardjono. Pebisnis gaek asal Solo ini menutup buku kehidupan pada Kamis (21/12).

Advertisement

Laku hidup anak R. Sahid dan R. Ngt. Hj. Sadinah ini penuh pitutur luhur. Dia dikenal titis maca kahanan serta awet urip (89 tahun). Sebagai orang Jawa tulen, nama orang tua (Sahid) sengaja dia jadikan identitas hotel.

Kesadaran sejarah asal-usul ini ternyata membawa berkah. Ruang gerak bisnisnya melebar. Nama ”Sahid” sebenarnya gerbang sejarah bagi kita untuk memahami riwayat perhotelan di tlatah Solo dari waktu ke waktu.

Merujuk konsep amenitas, salah satu syarat pengembangan pariwisata suatu daerah ialah penyediaan penginapan. Tempat wisata yang ideal memang sukar diceraikan dari fasilitas penginapan.

Selama menempuh perjalanan panjang, orang butuh tempat istirahat guna mengobati lelah yang menggelayuti tubuh serta ngeluk boyok. Terkait kepastian kapan hotel mulai ada di Solo, saya kutipkan catatan penulis Inggris yang menyebut dirinya dengan huruf pertama namanya J.D.P.

Dalam karangan berjudul Journal of An Excursion To The Native Princes On Java In The Year 1828, During The War With Diponegoro, ia mendeskripsikan hotel yang berlokasi di sekitar Benteng Vastenburg dan kantor residen.

Dia jelaskan pada 1828 di hotel itu dijumpai kantin militer tempat para prajurit Eropa bersuka ria pada malam hari. Melewati tempat ini terdapat sejenis toko Eropa yang merupakan satu-satunya di Solo.

Kendati nama hotel tidak disertakan penulis, hotel itu bisa kita pastikan dibangun di dekat pusat pemerintahan kolonial Belanda. Hanya golongan tertentu yang bisa mengaksesnya, termasuk orang-orang Eropa, pengusaha perkebunan, dan pejabat tinggi kolonial yang singgah di Solo dengan berbagai kepentingan.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Hotel ini diduga bernama Hotel Dohme

Hotel Dohme

Jika menyisir dari pustaka garapan seorang pastor bernama R. Kurris (2009), hotel ini diduga bernama Hotel Dohme. Pastor ini menerangkan Hotel Dohme berlokasi di tengah gedung karesidenan dan Gereja Purbayan yang kemudian dibeli untuk sarana bagi Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau Sekolah Menengah Pertama lengkap dengan asrama.

Bisnis perhotelan lebih sering dikerjakan kaum Eropa ketimbang pribumi. Bukti pernyataan itu terekam dalam Bromartani edisi 9 Juni 1881). Wonten tuwan malebet ing nagari ngriki, mondhok ing losmenipun tuwan Selir… (Ada tuan masuk kota, penginap di losmen milik tuan Slier).

Suatu terobosan bagus ditempuh pengelola Hotel Slier, yakni penjemputan tamu dari Stasiun Balapan menuju hotel dengan kereta kuda. Penyediaan pelayanan penjemputan yang memadai ini tentu menguatkan minat pengunjung memilih menginap di hotel tersebut.

Hotel itu bukan hanya untuk menginap. Kala itu hotel dimanfaatkan pula untuk tempat transit para pembesar lintas etnis. Fakta itu termaktub dalam pemberitaan Bromartani edisi 12 September 1891.  Nalika malem Jumungah kathah para ruhur.. sami ngalempak wonten ing losmen Sakoltenan saking ngriku malampah sasarengan dhateng ing dalem asistenan.

Advertisement

Pada Jumat sore, para petinggi berkumpul di losmen Sakoltenan. Lalu berjalan berbarengan ke rumah asisten residen. Berita ini mencuatkan fakta penting bahwa hampir 1,5 abad silam hotel di Solo bisa digunakan pula untuk berkencan para petinggi tanpa harus menginap.

Yang menarik adalah mereka tidak memakai pola ampir-ampiran atau saling menjemput dari rumah ke rumah. Di samping ribet, juga memakan waktu yang lama. Masyarakat kelas atas dan wisatawan di Solo doyan menginap di Hotel Slier di selatan gedung Bank Indonesia lama.

Hotel tersebut menyediakan kamar mandi dengan bak mandi panjang, air panas dan dingin; beberapa kamar di antaranya menggunakan air conditioner (AC). Makanan yang disajikan enak dengan harga yang logis.

Selanjutnya adalah: Berkunjung ke keraton diurus manajemen hotel

Berkunjung

Jika hendak berkunjung ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dapat diurus oleh manajemen hotel. Pengunjung bisa pula menginap di Hotel Juliana di sebelah utara bekas Bioskop Fajar dan Hotel Rusche yang berlokasi di depan kantor residen.

Advertisement

Selepas proklamasi kemerdekaan Indonesia, pemerintah Republik Indonesia mendorong pengembangan urusan perhotelan. Seperti diterangkan sebelumnya, hotel awalnya dimiliki pengusaha swasta Belanda.

Supaya pengelola hotel tak merongrong kekuasaan Indonesia, pemerintah mengambil langkah tegas. Tanggal 1 Juli 1947 Moh. Hatta, Wakil Presiden Republik Indonesia dalam kapasitasnya sebagai Ketua Panitia Pemikir Siasat Ekonomi, membentuk Hotel Nasional & Tourisme atau disingkat NV Honet.

Badan ini dinakhodai R. Tjiptoruslan. NV Honet mengemban amanah mengelola seluruh hotel yang semula kepunyaan Belanda atau orang Belanda lalu ”dinasionalisasi” dan dinamai Hotel Merdeka.

Hotel Slier sebagai hotel berkelas di Solo bersalin nama menjadi Hotel Merdeka. Pada masa perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia tahun 1948, hotel tersebut dibakar atau dibumihanguskan oleh tentara Republik Indonesia.

Mereka  menilai hotel itu masih kuat mengandung aroma kolonialisme sehingga harus diratakan dengan tanah ketimbang dikuasai kembali oleh Belanda. Sedangkan Hotel Juliana sampai sekarang dipakai untuk markas polisi militer.

Kian hari perkembangan jagat pariwisata di Solo makin sulit dipisahkan dengan pembangunan hotel. Perhotelan di kota ini berkembang dengan aneka fasilitas yang disediakan sesuai tingkat atau kelas hotel itu sendiri.

Di sinilah kejelian dan naluri bisnis Sukamdani dibuktikan. Merujuk Majalah Media Wisata (1980), Hotel Sahid Sala yang berlokasi di Jl. Gadjah Mada didirikan pada 1963 dan diresmikan pada 8 Juli 1965.

Advertisement

Hotel yang dibangun pengusaha nasional ini diklaim sebagai cikal bakal hotel pertama dengan standard tourist di Solo, bahkan pertama di  Jawa Tengah. Hotel bertaraf internasional itu dibangun menjelang Konferensi The Pacific Asia Travel Association (PATA) pada 1974 di Indonesia.

Kamarnya ditambah dengan cottage-cottage. Pada 1980 ada 40 unit kamar dengan fasilitas seluruhnya sama. Jumlah kamar ini tidaklah banyak bila dibanding dua hotel yang dibangun belakangan, yaitu Sahid Jaya Hotel di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta, yang mempunyai 514 kamar, dan Kusuma Sahid Prince Hotel di Jl. Asrama, Solo, dengan 82 kamar.

Selanjutnya adalah: Kepuasan tamu menjadi tujuan utama

Kepuasan Tamu

Sekuat mungkin manajemen Hotel Sahid merawat semboyan kepuasan tamu menjadi tujuan utama setiap karyawan, yang menjadi alasan utama masih utuhnya tamu-tamu tetap maupun langganan baru, baik itu pejabat pemerintah maupun pengusaha, turis-turis asing dan para ahli luar negeri yang sampai tinggal berbulan-bulan di hotel itu.

Dari sekian banyak hotel milik Sahid Group, tampaknya turis lebih tergoda dengan Kusuma Sahid Prince Hotel. Selain bernilai historis, hotel ini juga menawarkan kesan klasik dan posisi yang strategis.

Advertisement

Hotel ini tidak jauh dari objek wisata utama (Keraton Solo), pusat perbelanjaan, dan tempat hiburan yang jaraknya hanya beberapa menit perjalanan dengan mobil. Semula hotel ini dimiliki dan dikelola PT IFCO selepas membeli dari Pangeran Kusumoyudo, buah hati Paku Buwono X.

Saat perusahaan perhotelan Sahid membelinya pada 1970-an, kondisi bangunan bekas dalem ini rusak parah akibat kurang perawatan. Hanya dalam waktu delapan bulan hotel dikembalikan pada bentuk dan wajah yang orisinal.

Memang ada beberapa bagian tertentu diganti menyesuaikan alam kehidupan modern. Bangunan utama Kusuma Sahid Prince Hotel terdiri atas 18 unit cabana dan 28 unit bungalow. Kemudian ditambah extension berupa gedung bertingkat tiga dengan 36 kamar dan diresmikan pada 8 Juli 1981.

Menilik master plan, perluasan dilanjutkan hingga menjadi 220 kamar. Seluruh kamar dilengkapi televisi, refrigerator, dan full air conditioner. Kala badra (mandiri) mendirikan hotel tersebut, Sukamdani sebenarnya mengambil resiko cukup besar.

Pada periode itu iklim usaha dan keadaan ekonomi sedang jeblok dan situasi politik nasional keruh. Sultan Hamengku Buwono X sebagai Ketua Dewan Pariwisata Indonesia pada waktu itu menyatakan sangat menghargai prakarsa Sukamdani yang dia nilai kelewat berani.

Apa yang diutarakan Sultan tidak luput sepenuhnya. Hotel Sahid Solo adalah hotel yang memelopori bidang perhotelan swasta di Jawa Tengah. Sebelum era 1965 hampir semua hotel di Indonesia adalah hotel peninggalan Belanda dan baru sedikit hotel baru yang dibangun.

Keberanian Sukamdani memelopori pembangunan hotel baru dan modern merupakan cerminan Sukamdani yang punya pandangan jauh ke depan dan memprediksi akan mengalirnya wisatawan ke Kota Solo.

Advertisement

Kemudian terbukti, Solo menerima kunjungan wisatawan yang lumayan banyak. Keuletan diri dan titis-nya Sukamdani membaca gerak zaman berbuah nyata.

Pengusaha yang bersahaja ini tahu kegiatan pariwisata yang kian hari tumbuh dan berkembang di Kota Solo. Sugeng tindak, Pak Kam. Nikmatilah hotel indah penuh makanan enak di alam kalanggengan

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif