Soloraya
Minggu, 7 Januari 2018 - 14:35 WIB

KORUPSI KLATEN : Warga Sedayu Temukan Indikasi Penyimpangan APB Desa Rugikan Negara Ratusan Juta Rupiah

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Warga menunjukkan lokasi jalan beton yang diduga ada penyimpangan anggaran dalam pembangunannya di Dukuh Sidorejo, Desa Sedayu, Tulung, Klaten, Sabtu (6/1/2018). (Cahyadi Kurniawan/JIBI/Solopos)

Warga Desa Sedayu, Tulung, Klaten, menemukan indikasi penyimpangan pengunaan dana APB desanya.

Solopos.com, KLATEN — Awalnya, Wahid, 49, tak paham soal anggaran pemerintah desa. Ia butuh enam bulan untuk mempelajari laporan kegiatan-kegiatan pembangunan di desanya. Ia mencurigai adanya penyimpangan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Desa Sedayu tahun 2016.

Advertisement

Kecurigaan itu muncul saat ia menemukan selisih dana yang direalisasikan dan yang tercantum dalam dalam laporan pertanggungjawaban (LPj). Salah satunya pengadaan keramik untuk rehab Kantor Desa Sedayu seluas 54 meter persegi.

Dengan kualitas yang sama, harga keramik di pasaran sekitar Rp60.000 per meter persegi sehingga total belanja sekitar Rp3.240.000. Sedangkan dalam laporan tertulis Rp10.000.000.

Advertisement

Dengan kualitas yang sama, harga keramik di pasaran sekitar Rp60.000 per meter persegi sehingga total belanja sekitar Rp3.240.000. Sedangkan dalam laporan tertulis Rp10.000.000.

Tak hanya itu, ia juga menemukan mata anggaran untuk upah pekerja dalam proyek betonisasi jalan di Dukuh Kranggan. Dalam laporan tertulis biaya upah Rp65.000 untuk tukang dan Rp50.000 untuk tenaga selama enam hari. Total pekerja dalam proyek 12 orang termasuk tukang dan tenaga.

“Padahal, pengecoran jalan dilakukan secara gotong royong selama dua hari. Betonisasi jalan di Dukuh Kranggan dilaporkan Rp42 juta. Padahal, realisasinya habis sekitar Rp25 juta,” kata Wahid, saat ditemui Solopos.com di rumahnya, Dukuh Kranggan, RT 011/RW 004, Desa Sedayu, Kecamatan Tulung, Klaten, Jawa Tengah, Sabtu (6/1/2018).

Advertisement

Perangkat desa itu mengusulkan pekerjaan dilakukan secara gotong royong. Lalu, dikerjakanlah secara gotong royong oleh warga selama dua hari, Sabtu dan Minggu.

“Begitu selesai, lama-lama ada kisruh di kelurahan soal LPj. Saya minta LPj proyek di dukuh saya. Ternyata pembangunan jalan itu pakai dana desa bukan dana aspirasi. Dalam LPj juga disebut ada upah tenaga kerja, padahal kami lakukan secara gotong royong. Bahkan, kalau enggak ikut didenda Rp50.000,” kata Suit, warga Dukuh Sidorejo RT 007/RW 003, Desa Sedayu, Kecamatan Tulung, Klaten.

Suit lalu menunjukkan kepada Solopos.com salinan lampiran berisi daftar nama tukang berjumlah enam orang dan 12 orang tenaga. Tukang menerima upah senilai Rp65.000 dan tenaga Rp50.000. Keduanya disebutkan bekerja selama tujuh hari.

Advertisement

Tak hanya itu, ia menduga ada pemalsuan tanda tangan dalam LPj itu salah satunya tanda tangan penerima upah. Baik Suit maupun Wahid menemukan sejumlah nama dicatut padahal yang bersangkutan tidak merasa bertanda tangan apalagi menerima upah itu.

Wahid kemudian melaporkan dugaan penyimpangan APB desa itu ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Klaten pada 13 Oktober 2017. Dalam laporannya, ia menyebutkan data dugaan penggelembungan anggaran untuk pembelian semen di 13 proyek fisik dan pengadaan keramik di 3 proyek lainnya.

Tak hanya itu, dalam laporan setebal tiga lembar itu disebutkan ada 10 dugaan pelanggaran lainnya salah satunya dugaan pemalsuan tanda tangan Tim Pelaksana Kegiatan (TPK). Pelaksanaan kegiatan selama ini dilakukan Nurul Yulianto, Kadus I Desa Sedayu, anak kandung Kepala Desa Sedayu, Sugiyarti.

Advertisement

Wahid menyebutkan dari indikasi-indikasi dugaan penyimpangan APB Desa 2016 Sedayu, kerugian negara ditaksir mencapai Rp200 juta lebih. “Semua sudah saya laporkan kepada Kejari Klaten Oktober 2017,” kata dia.

Saat dimintai konfirmasi Solopos.com, Nurul Yulianto (Yuli), Kadus I Desa Sedayu, menerangkan sebelum realisasi, pengurus RT/RW sempat dikumpulkan anggaran upah pekerja digunakan untuk konsumsi dan pengerjaan proyek digelar secara gotong royong. Ia menduga ada missed komunikasi dari RT/RW kepada warga.

Asline duit upah dipakai buat konsumsi pekerja. Proyek itu tahun 2016 menggunakan dana desa. Tapi memang pelaporannya disebutkan untuk upah bukan untuk konsumsi,” kata Yuli di rumahnya, Sabtu.

Ia mengakui tak semua tanda tangan dalam laporan itu asli, sebagian “didengkul”. Hal itu dilakukan untuk mempercepat proses penyusunan LPj. “Sekarang enggak semua desa yang mencari tanda tangan itu asli. Semua dengkulan,” sambung dia.

Terkait dugaan penggelembungan harga material sejumlah proyek termasuk semen dan keramik, Yuli menerangkan harga dalam laporan adalah harga pasaran material ditambah pajak. Pada 2016, harga semen di pasaran antara Rp53.000-Rp54.000 per sak.

Harga itu ditambah pajak menjadi sekitar Rp59.000, lalu dalam laporan dibulatkan menjadi Rp60.000 per sak. Tahun 2017, harga semen turun menjadi Rp37.000 per sak. Jika ditambah pajak total menjadi sekitar Rp43.000 per sak. “Harga semen Rp40.000 di tahun 2016 apa ada?” tanya Yuli.

Tak hanya itu, soal pengadaan keramik, Yuli mengaku lupa berapa jumlah total penggadaan keramik untuk lantai seluas 9 meter x 12 meter. Keramik berukuran 40 sentimeter (cm) x 40 cm. Pengadaan keramik masuk dalam proyek rehab Kantor Desa Sedayu menggunakan dana aspirasi sebesar Rp100 juta dan dana desa senilai Rp70 juta.

Penggunaan dana desa untuk rehab kantor lantaran dana aspirasi tidak cukup. Rehab balai desa mendesak dilakukan sebab kerap tergenang air saat hujan. Saat itu, ia mengaku tidak tahu apakah dana desa boleh untuk rehab atau tidak.

“Saat itu masih bingung. Pada 2017 memang enggak boleh. Tapi, karena balai desa ra karuan dan adanya Dana Desa ya diselesaikan pakai dana desa,” beber dia.

“Keramik sak balai desa masa enteke [Rp]3 juta ya ra mungkin,” tutur Yuli, “Asline wis klir. Inspektorat sudah klir,” sambung dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif