Kolom
Senin, 11 Desember 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Hantu Komunisme Masih Menakutkan Anda?

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (4/12/2017). Esai ini karya Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Solopos dan Wakil Ketua Dewan Pers. Alamat e-mail penulis adalah eljeha@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–”Communism? Nyet… nyet… nyet…[Komunisme? Tidak… tidak… tidak…].” Begitulah komentar orang Rusia dan sejumlah warga eks Uni Soviet bila ditanya bagaimana seandainya komunisme berkuasa lagi di negeri mereka.

Advertisement

Warga Rusia yang relatif belum lama dilanda euforia kebebasan. Pantas saja merasa kapok dengan ideologi satu itu. Mereka kini lebih mengidam-idamkan punya rumah beserta perabotannya dan, tentu saja, juga menginginkan mobil sebagai salah satu simbol mobilitas modern.

Mereka seakan-akan ingin menjauh sejauh-jauhnya dari mimpi buruk  kehidupan di alam komunisme yang rupanya traumatis itu. Komunisme pada dasarnya merupakan kehidupan yang serbatertutup, terkekang alias tanpa kebebasan, tidak boleh memiliki aset pribadi, sama rata dan sama rasa, dan selalu dimata-matai.

Para pemimpinnya seolah terlepas dari doktrin tersebut karena mereka ternyata boleh kaya raya dan menikmati hidup mewah. Contoh nyata alam komunisme yang kini masih berlangsung adalah di Korea Utara. Tak mengherankan bila mereka yang terlepas dari pola kehidupan komunisme berubah total.

Advertisement

Perubahan itu antara lain ditandai kepemilikan sejumlah barang dan/atau benda untuk menandai iklim kebebasan, termasuk keinginan memiliki mobil yang menjadi simbol kebebasan bergerak dan sekaligus ruang privasi bagi setiap orang.

Moskwa, misalnya, atau sejumlah kota di Rusia, kini menunjukkan gejala yang tidak berbeda jauh dibandingkan dengan negara mana pun di seluruh dunia: kemacetan lalu lintas akut sebagai pertanda kehidupan yang semakin mengarah kepada serbamateri. Lihat saja, misalnya, keramaian di Moscow GUM di kawasan Lapangan Merah yang kini dipadati oleh brand kelas atas dari berbagai penjuru dunia.

Pusat perbelanjaan mewah yang pada era Uni Soviet menjadi pasar rakyat untuk berdagang aneka komoditas yang dibutuhkan seluruh lapisan warga itu kini kembali menunjukkan jati diri sebagai tempat belanja orang berduit. Ketika dibangun pada 1893 kawasan itu memang dirancang sebagai tempat cuci mata dan ”membuang uang” kamu borjouis.

Selanjutnya adalah: Tengoklah pula deretan took dan/atau kios di jalan Nanjing Lu

Advertisement

Kios dan toko

Tengoklah pula deretan toko dan/atau kios di sepanjang jalan Nanjing Lu di Kota Shanghai, Tiongkok. Kawasan ini menjadi saksi sistem pasar dikendalikan dan dimiliki sepenuhnya oleh negara dan kini berubah total menjadi toko/kios berkilauan milik perorangan dengan aneka dagangan yang mereka miliki dan jajakan. Masyarakat menjadi terbiasa dengan itu semua.

Akankah rakyat yang telanjur menikmati kebebasan atau dapat memilih segala sesuatu sesuai selera dipaksa kembali untuk menganut faham/ideologi yang kebenarannya dimonopoli oleh penguasa ataupun negara? Rasanya jarum jam tidak dapat diputar kembali. Hanya di negara yang masih sangat tertutup seperti Korea Utara yang masih dapat melakukannya. Sampai kapan dapat dipertahankan? Tak seorang pun tahu.

Advertisement

Respons yang tidak jauh berbeda juga ditunjukkan warga Vietnam, Hongaria, dan Polandia. Mereka, bangsa yang dulu pengikut setia (dan pernah tunduk pada) komunisme, seakan-akan kompak menyatakan tidak ingin kembali ka masa suram tempo dulu ketika masih hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan komunisme.

“Komunisme kini sekadar ideologi negara, tidak lagi menjadi keyakinan individu. Zaman sudah berubah, apalagi ketika hampir seluruh bangsa kini merasakan manisnya buah kebebasan. Rasanya tidak ada lagi alasan bagi kami untuk kembali ke sana. Kami tidak ingin kembali hidup sengsara seperti dulu,” ujar seorang kepala lembaga investasi Vietnam yang berkantor di Hochiminh City, Vietnam.

Situasi paradoksal terjadi di negeri kita tercinta, Indonesia. Ada sejumlah orang yang dipercayai bermaksud menghidup-hidupkan kembali ideologi usang tersebut. Ibarat mengipas bara api di tumpukan dun kering, isu tentang menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia kemudian membara dan kian meluas gemanya di belantara media sosial.

Hal ini menciptakan pertentangan yang cukup seru di kalangan masyarakat. Ada yang berpendapat komunisme bakal bangkit kembali di negeri ini. Sebagian lagi berpendapat  PKI atau komunisme hanya hantu yang dibesar-besarkan oleh beberapa orang dengan tujuan mengalihkan perhatian masyarakat terhadap topik tertentu yang lebih sensitif.

Advertisement

Selanjutnya adalah: Para pemimpin negeri ini merasa perlu nimbrung

Nimbrung

Para pemimpin negeri ini merasa perlu nimbrung dengan aneka komentar dan pernyataan untuk meredakan perseteruan pendapat dari berbagai pihak bahwa negeri ini sedang menghadapi ancaman nyata kebangkitan kembali komunisme.

Sebagai ideologi dan sistem tampaknya sulit bagi siapa pun untuk mermpertahankan komunisme tersebut guna mendapatkan pengikut pada era serbamateri ini, terlebih sponsor utama ideologi tersebut—Rusia/Uni Soviet dan Tiongkok—kini justru lebih kapitalis daripada para seteru mereka yang dulu menentang komunisme.

Mungkin ideologi ikutan atau pendomplengnyalah yang justru akan bertahan dan berkembang, yakni agnotisme, ateisme, dan edanisme yang lebih berpeluang masuk di alam pemikiran manusia, terlebih bagi kaum muda yang menghadapi suasana labil (khususnya mereka yang melupakan ajaran agama dan/atau budi perkerti).

Advertisement

Pengusung ideologi tersebut memang gigih mencari pengikut, yakni mereka yang tidak memperoleh hidayah dari Allah atau yang sengaja menyesatkan diri dari ajaran yang benar. Iklim lokal maupun internasional sangat memungkinkan tumbuh dan berkembangnya ideologi yang menggunakan instrumen narkoba, pergaulan bebas lelaki dan perempuan, hingga cinta dunia (termasuk di dalamnya korupsi).

Ini sebenarnya yang justru perlu diwaspadai karena paham seperti komunisme sudah tidak memiliki sandaran lagi untuk berlanjut, mengingat sebagian besar warga dunia sudah meninggalkannya alias kapok. Hanya orang tidak pintar atau malas berpikirlah yang masih ketakutan terhadap hantu komunisme itu.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif