Soloraya
Selasa, 5 Desember 2017 - 14:00 WIB

PILKADES SRAGEN : Bupati Curiga Ada Politik Transaksional Cakades Bernilai Miliran Rupiah

Redaksi Solopos.com  /  Rohmah Ermawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati memberi pengarahan kepada para cakades, tim sukses, panitia, dan warga agar tidak larut dalam politik transaksional pada pilkades di Balai Desa Jetak, Sidoharjo, Sragen, Senin (4/12/2017). (Tri Rahayu/JIBI/Solopos)

Pilkades Sragen di 10 desa digelar tanggal 6 Desember 2017.

Solopos.com, SRAGEN — Bupati Sragen Kusdinar Untung Yuni Sukowati mencium indikasi praktik politik transaksional yang menggurita dalam pesta demokrasi pemilihan kepala daerah (pilkades) serentak di 10 desa yang dihelat Rabu (6/12/2017).

Advertisement

“Kabar yang saya terima ternyata ada calon kepala desa sing enteke wis akehe ora umum [sudah menghabiskan banyak uang]. Apalagi saat mengumpulkan kader. Warga kita itu tipikalnya tidak akan datang kalau ora enek sangune [tidak ada uang saku]. Ya di pilkades itu orang pada panen. Satu rumah ada lima orang dan setiap orang mendapat Rp200.000 maka satu keluarga itu sudah dapat uang Rp1 juta,” ujar Yuni, sapaan Bupati, saat memberi pengarahan di Balai Desa Jetak, Sidoharjo, Sragen, Senin (4/12/2017).

Putri mantan Bupati Sragen Untung Wiyono itu sempat menyebut ada satu calon kepala desa yang sudah habis Rp1 miliar. Dia sampai geleng-geleng kepala karena biasanya nyaris seperti biaya kampanye dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Dia menekankan alokasi dana desa (ADD) dan dana desa (DD) yang ada sampai miliaran rupiah itu tidak bisa menutup biaya traksasional itu semua. ADD dan DD, ujar dia, hanya untuk biaya pembangunan desa.

Advertisement

Yuni mengajak para calon kepala desa (cakades) dan tim suksesnya untuk memberi pendidikan politik kepada masyarakat dengan cara-cara yang baik dan bijak. Ia tidak ingin pola transaksional yang terjadi dalam pilkades dijadikan patokan pada pesta demokrasi di level pemilihan presiden (pilpres) pada 2019 dan pemilihan gubernur (pilgub) pada 2018 mendatang.

“Yang bikin repot itu ulang botoh yang membuat ruwet politik di tingkat desa. Saya kira para tim sukses dan cakades sudah mengetahui persis warganya dan warga dari luar desa. Kalau ada warga dari luar desa yang hilir mudik supaya keluar dari desa. Jadi desa betul-betul disterilkan dari orang luar. Botoh itu merusak pesta demokrasi,” ujarnya.

Yuni mengaku kesulitan untuk memberangus botoh dan politik transaksional. Ia berharap masyarakat lebih memilih dengan hati nurani bukan dengan uang. Ia belum menemukan formula yang tepat untuk mengurangi politik transaksional karena ada permintaan sehingga penawaran pun muncul. Semua itu harus dilakukan lewat pendidikan politik dan mempersempit ruang bagi botoh.

Advertisement

Dandim 0725/Sragen Letkol (Arh) Camas Sigit Prasetyo mengaku sudah memprovokasi Kapolres AKBP Arif Budiman untuk mendeteksi keberadaan botoh dan menangkapnya.

“Ketika saya menerjunkan tim intelijen apa ya bilang-bilang ke media. Jadi antara kami dan Polres nanti tinggal duluan mana yang berhasil mengungkap botoh itu. Tetapi tidak asal menangkap karena harus ada barang bukti yang jelas. Nah, unsur barang bukti itulah yang susah. Kalau ada laporan masyarakat akan lebih bagus,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu, Dandim menekankan tiga hal kepada para cakades dan tim sukses serta panitia pilkades, yakni waktunya diam ya diam, waktunya teriak ya teriak, dan waktunya mencoblos ya mencoblos. Pesan itu, ujar dia, jangan dibolak-balik.

“Jadilan ksatria dengan siap kalah dan siap menang. Kemudian panitia pilkades harus netral seperti halnya TNI/Polri. Ada lagi jangan mempolitisasi TNI/Polri yang bertugas mengamankan jalannya pilkades,” imbuhnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif