Soloraya
Rabu, 29 November 2017 - 20:35 WIB

Kritik Para Pemimpin melalui Lakon Ketoprak Wiswakarman

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kelompok Kerja Teater Tradisonal (KKTT) Wiswakarman FIB UNS saat pentas produksi tahunan Kalamunyeng di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Selasa (28/11/2017) malam. (Istimewa/Humas FIB/Asep Budi Santoso)

Pentas ketoprak oleh KKTT Wiswakarman FIB UNS didigelar di Teater Arena TBJT, Selasa (28/11/2017) malam.

Solopos.com, SOLO–Masyarakat Kadipaten Giri hidup makmur dan bergelimang kebahagiaan di bawah pimpinan Sunan Giri. Tak hanya membawa keberkahan, kesejahteraan yang menjadi dambaan semua orang itu juga menjadi mala petaka. Mereka ingin mendeklarasikan wilayah kekuasaan sendiri. Memilih lepas dari Kerajaan Majapahit yang dipimpin Raja Brawijaya VI.

Advertisement

Keinginan salah satu anggota Wali Songo itu jelas ditentang oleh Majapahit. Apalagi cara mereka melepaskan diri dengan meminta bantuan Kerajaan Demak. Dari situlah kisah pertempuran antara masyarakat Giri,
Demak, dan Majapahit dimulai. Tak ada kemenangan mutlak, kecuali mereka yang teguh dalam keutamaan.

Gugurnya para pasukan perang termasuk masyarakat Giri membuat istri Sunan Giri tersedu sedan. Ia menyesali keputusan sang suami yang ingin memisahkan diri dari wilayah kerajaan. Sunan Giri tegar menenangkan sang istri.

“Nyai kabeh iki wis dipesti ing garising Illahi Nyai. Lestarine budi kang becik kudu tansah dirembakaake. Mula kadadean ini mau minangka pratanda yen kautaman iku ora bakal kasor karo tumindak batil. [Nyai, semua ini sudah digariskan Tuhan. Budi yang luhur harus diteruskan. Kejadian ini sebagai pertanda bahwa keutamaan tidak akan kalah dengan kebatilan],” kata Sunan Giri. Adegan tersebut menutup ketoprak oleh KKTT Wiswakarman FIB UNS di Teater Arena TBJT, Selasa (28/11) malam.

Advertisement

Kritikan

Cerita Kalamunyeng yang digarap berdasarkan sejarah Kerajaan Majapahit dan Demak ini membahas tentang ironi kemakmuran sebuah
negeri. Egosentris masing-masing pemimpin membuat rakyatnya penuh kecurigaan, perpecahan di mana-mana. Mereka tak melihat pentingnya persatuan dan kesatuan demi kemakmuran bangsa. “Ini juga sebagai bahan
kritikan para pemimpin bangsa ini. Jangan terlalu egois mementingkan diri sendiri. Akhirnya membuat rakyat tidak bersatu, banyak yang ingin lepas diri dari negeri tercinta,” kata sutradara Bondan Ardiansyah
seusai pentas.

Menggunakan Bahasa Jawa sebagai komunikasi utama, para pemain ingin sekaligus melestarikan bahasa ibu masyarakat Jawa. Sutradara mengadopsi beberapa kreasi baru agar ketoprak mahasiswa ini tak membosankan. Salah satunya menyelipkan tembang dandanggula kekinian dan Bahasa Indonesia di beberapa sesi. Saat dagelan mereka menceritakan ulang rangkuman cerita dengan guyonan.

Advertisement

Di antara ratusan penonton turut hadir perwakilan School of Creative Industry Management & Performing Arts (SCIMPA) Universiti Utara Malaysia. Mereka berencana datang ke FIB UNS dalam rangka kolaborasi seni dan budaya tahun depan.

“Teater tradisional bernuansa Jawa merupakan seni pertunjukan dari Jawa yang khusus digunakan sebagai wahana meningkatkan kemampuan Bahasa Jawa karena lengkap dengan Bahasa Ngoko, Krama, maupun Krama Inggil. Ini perlu dilestarikan,” kata Dekan FIB, Riyadi Santosa.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif