Soloraya
Selasa, 14 November 2017 - 20:35 WIB

PERTANIAN KARANGANYAR : 50-An Hektare Sawah Menghitam Kena Limbah, Petani Ngijo Malah Senang

Redaksi Solopos.com  /  Suharsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kondisi lahan pertanian Ngijo, Karanganyar, yang terkena limbah penggilingan tebu. (Ponco Suseno/JIBI/Solopos)

Sekitar 50 hektare lahan pertanian di Ngijo, Karanganyar, menghitam gara-gara kena limbah penggilingan tebu.

Solopos.com, KARANGANYAR — Sekitar 50 hektare lahan pertanian di kawasan Ngijo, Karanganyar, teraliri limbah penggilingan tebu di Pabrik Gula (PG) Tasikmadu, Karanganyar, setiap tahunnya. Akibat aliran limbah tersebut, tanah pertanian di Ngijo berwarna hitam pekat.

Advertisement

Berdasarkan pantauan Solopos.com di lokasi, tanah pertanian di Ngijo yang berwarna hitam pekat karena tertumpuk abu hasil penggilingan tebu. Meski tergolong limbah, petani di kawasan Ngijo dan sekitarnya malah senang dan berharap abu dan sisa tetes tebu hasil penggilingan dapat dialirkan ke areal pertanian mereka.

“Setiap tahunnya, kami [Pemerintah Desa Ngijo] selalu meminta manajemen PG Tasikmadu agar mengalirkan limbahnya ke areal pertanian warga. Limbah itu sangat menguntungkan petani. Soalnya, petani dapat menghemat pengeluaran, terutama dapat menekan biaya penyedotan air,” kata Kepala Desa (Kades) Ngijo, Suwarso, saat ditemui Solopos.com, di kantornya, Selasa (14/11/2017).

Suwarso mengatakan 50-an hektare yang teraliri limbah penggilingan tebu setiap tahunnya itu berada di bagian barat PG Tasikmadu. Limbah yang mengalir melalui saluran irigasi itu bermuara ke Sungai Njongkang kurang lebih satu kilometer dari PG Tasikmadu.

Advertisement

“Kali terakhir, musim giling di PG Tasikmadu sekitar dua bulan lalu. Limbah penggilingan tebu itu membuat tanah di sawah petani awet anyep. Hal itu berdampak positif ke pertumbuhan tanaman padi. Para petani tak perlu repot-repot menggunakan pompa air setiap hari di musim kemarau,” katanya.

Suwarso mengatakan aliran limbah penggilingan PG Tasikmadu juga dapat menghemat pengeluaran saat memproduksi tanaman padi. Biaya yang dihemat petani hingga mencapai jutan rupiah. “Di musim tanam saat ini [MT III], biaya operasional itu mencapai Rp6 juta per patok [3.000-an meter persegi]. Hampir separuh biaya untuk memenuhi kebutuhan air. Bisa dibayangkan kalau tak ada aliran limbah dari PG Tasikmadu, biaya penyedotan air bisa lebih tinggi lagi. Saat ini, hasil yang diperoleh petani rata-rata senilai Rp12 juta per patok,” katanya.

Salah satu petani di Ngijo, Sugimin, 53, mengakui limbah penggilingan PG Tasikmadu dapat menghemat biaya pemupukan dalam satu kali musim tanam (MT). “Pengalaman saya, satu patok tanaman padi di sini membutuhkan 3 kuintal pupuk. Hal ini beda dengan sawah yang tak dialiri limbah hasil penggilingan tebu yang memerlukan pupuk hingga empat kuintal per MT,” katanya.

Advertisement

Hal senada dijelaskan Ketua Gapoktan Tani di Ngijo, Sumirat. Limbah penggilingan tebu tak memengaruhi kesuburan tanah. “Di areal yang dialiri limbah masih ada cacing dan belutnya,” katanya.

Selain Ngijo, areal pertanian yang dialiri limbah penggilingan tebu PG Tasikmadu, yakni Buran, Nangsri, dan Karangmojo. “Salah satu keuntungan teraliri limbah penggilingan tebu, yakni kondisi tanah awet anyep,” kata salah satu petani di Buran, Ngatmin, 42.

Administratur PG Tasikmadu, Teguh Agung Tri Nugroho, mengatakan setiap pengelolaan limbah selalu dikoordinasikan dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Karanganyar. “Biasanya, blotong-nya dimanfaatkan sebagai bahan organik. Abunya dipakai masyarakat untuk campuran pembuatan bata,” katanya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif