News
Jumat, 20 Oktober 2017 - 17:35 WIB

Freeport Belum Klir, Ini Rapor 3 Tahun Jokowi-JK dari ICW

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah haul truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9/2015). (Antara)

ICW menyoroti pengelolaan izin tambang termasuk Freeport yang belum kelar hingga 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK.

Solopos.com, JAKARTA — Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan beberapa catatan terhadap sektor ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam selama 3 tahun pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla (Jokowi-JK).

Advertisement

Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran ICW, Firdaus Ilyas, mengatakan setelah 3 tahun, pengelolaan sumber daya alam tidak optimal.

“Hal pertama, dalam sektor sumber daya alam, pemerintah belum optimal dalam memperbaiki dan menata pengelolaan kekayaan SDA. Ini terang bukan hal yang menggembirakan, mengingat pengelolaan kekayaan SDA yang baik dapat berdampak besar bagi kemakmuran rakyat,” ujarnya, dalam paparan Pemberantasan Korupsi Pemerintahan Jokowi, Jumat (20/10/2017).

Dia melanjutkan belum optimalnya pemerintah dalam mengelola kekayaan SDA paling tidak terlihat dari penataan izin pertambangan mineral dan batu bara di Kementerian ESDM. Penataan izin pertambangan mineral dan batu bara hingga kini masih berlarut-larut.

Advertisement

Dari 9.147 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tercatat pada Korsup KPK per Agustus 2017, hanya sebanyak 6.548 IUP yang berstatus clean and clear. Sementara itu, 2.599 IUP lainnya berstatus non-clean and clear dan harus dicabut atau dihentikan izinnya. “Hingga kini proses penataannya pun belum jelas kelanjutannya.”

Hal lain, paparnya, adalah lambatnya amandemen Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Hingga Juni 2017, dari total 102 KK/PKP2B baru 58 (yaitu; KK 21, PKP2B 37) yang setuju untuk diamandemen, sedangkan 48 lainnya (KK 12, PKP2B 32) belum disetujui.

“Catatan lain mengenai sektor pertambangan adalah gagalnya Indonesia menguasai tambang PT Freeport Indonesia 100% pada 2021 serta skenario divestasi saham yang tidak jelas,” lanjutnya.

Advertisement

Hal lainnya yang menjadi sorotan ICW adalah aspek perpajakan. Rasio penerimaan pajak Indonesia hingga 2016 tidak mengalami kenaikan. Pada 2014, rasio penerimaan pajak sebesar 11,9%, lalu pada 2015 sebesar 10,9%. Kemudian pada 2016 sebesar 10,3%. Hal tersebut jelas tidak begitu menggembirakan mengingat pemerintah telah menargetkan rasio penerimaan pajak Indonesia menjadi 16% pada 2019.

Dia melanjutkan, pada 2016, Pemerintah Indonesia mengeluarkan program pengampunan pajak yang dari sisi deklarasi harta memang dapat dianggap cukup sukses dengan mencapai angka Rp4.884 triliun. Namun, dari jumlah tersebut hanya Rp147 triliun yang akan direpatriasi.

Penagihan piutang negara yang dilakukan Pemerintah Indonesia juga tidak optimal. Ini dapat terlihat dari Kenaikan Piutang (bruto) dari Rp242 triliun 2014 menjadi Rp276 triliun (2016), serta kenaikan penyisihan piutang tidak tertagih dari Rp149 triliun (2014) menjadi Rp185 triliun (2016).

Di sisi lain, terkait isu subsidi energi, dia melihat pencabutan subsidi energi sayangnya tidak diimbangi dengan perbaikan transparansi dan akuntabilitas sektor energi. Setelah tim reformasi Migas (2015) dan pemberantasan mafia energi, perbaikan di Pertamina juga belum jelas arahnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif