Jogja
Kamis, 19 Oktober 2017 - 03:20 WIB

Hati-hati, Kekerasan Seksual Bisa Terjadi di Sekolah

Redaksi Solopos.com  /  Kusnul Istiqomah  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi anak korban kekerasan seksual. (winnipegsun.com)

Di sisi lain, kekerasan seksual masih dianggap sebagai isu sensitif yang tabu untuk dibahas atau dibicarakan, termasuk di lingkungan pendidikan

Harianjogja.com, KULONPROGO-Kasus kekerasa seksual terhadap anak juga rawan terjadi di lingkungan sekolah. Dibutuhkan sistem terpadu dalam upaya pencegahan maupun penanganannya.

Advertisement

Hal itu diungkapkan Divisi Humas dan Media Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rifka Annisa,Niken Anggrek Wulan, Rabu (18/10/2017). Dia mengatakan, kasus kekerasan seksual dapat berdampak sangat fatal bagi anak-anak, terlebih jika terjadi berulang kali.

“Anak belum cukup mempunyai bekal untuk menghadapi kejadian yang menimpanya. Dampaknya bisa seumur hidup. Bisa terjadi ada pelaku melahirkan pelaku atau korban yang terus menjadi korban di kemudian hari,” kata Niken.

Advertisement

“Anak belum cukup mempunyai bekal untuk menghadapi kejadian yang menimpanya. Dampaknya bisa seumur hidup. Bisa terjadi ada pelaku melahirkan pelaku atau korban yang terus menjadi korban di kemudian hari,” kata Niken.

Berdasarkan data Rifka Annisa pada Januari-Agustus 2017, setidaknya ada dua kasus kekerasan seksual terhadap anak dan remaja di Kulonprogo. Kekerasan seksual juga terjadi sebanyak sembilan kasus di Gunungkidul, empat kasus di Jogja, lima kasus di Sleman, dan dua kasus di Bantul. Rentang usia pelakunya berkisar antara 5-73 tahun dan kebanyakan justru orang terdekat korban.

Niken lalu mengatakan, sekolah merupakan salah satu tempat yang tidak 100 persen aman dari ancaman kekerasan seksual. Sekolah ibarat rumah kedua bagi anak dan remaja jika mengingat lamanya waktu yang dihabiskan setiap hari di sekolah.

Advertisement

Niken mengatakan, pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di sekolah membutuhkan sistem khusus. Sistem itu melibatkan semua komponen di lingkungan sekolah maupun masyarakat sekitar secara terpadu.

Niken mengungkapkan, sekolah bisa membentuk tim anti kekerasan atau semacamnya dan punya program kerja yang berkelanjutan. Jika perlu, program tersebut juga didukung alokasi dana khusus dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS).

Niken berharap budaya anti kekerasan bisa digalakkan di sekolah. Penyampaian materi seputar cara pencegahan maupun penanganan kasus kekerasan dapat diselipkan dalam berbagai mata pelajaran, ekstrakurikuler, maupun program lain. Para pelajar juga bisa dilatih menjadi konselor sebaya.

Advertisement

“Jadi disesuaikan dengan kultur sekolah dan bisa dimasukkan ke program yang sudah ada sebelumnya,” ujar Niken.

Divisi Pengorganisasian Masyarakat Rifka Annisa, Dewi Julianti menambahkan, saat ini lembaganya memang baru bekerja sama dengat empat sekolah di Gunungkidul terkait pendampingan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan. Meski begitu, Rifka Annisa juga berencana menjalin kerja sama serupa dengan sekolah-sekolah di Kulonprogo.

“Kalau di Kulonprogo, sementara ini kami menggandeng PIK-R atau Pusat Informasi dan Konseling Remaja, baik di tingkat desa maupun sekolah,” ungkap dia.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif