Kolom
Kamis, 12 Oktober 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Sastra Indonesia Perawat Kebinekaan

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sastra Indonesia (foto: liputan6.com)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (7/10/2017). Esai ini karya Tjahjono Widarmanto, seorang sastrawan yang tinggal di Ngawi, Jawa Timur, dan sedang menempuh studi doktoral di Universitas Negeri Surabaya. Alamat e-mail penulis adalah cahyont@yahoo.co.id.

Solopos.com, SOLO — Ada beberapa hal penting yang dapat dijadikan pijakan dan menjadi dasar pengembangan sastra Indonesia sebagai penjaga kebinekaan. Pijakan utamanya adalah bahwa sastra Indonesia bermula dari tradisi.

Advertisement

Pengertian tradisi tentu saja tidak boleh dimaknai dalam kerangka antropologis semata yang menyempitkan makna tradisi hanya sebagai bagian masa lalu. Pandangan yang linear semacam itu memunculkan anggapan yang terlampau subjektif sehingga memunculkan pemaknaan tradisi adalah bagian masa lampau sehingga eksistensinya tidak lagi relevan.

Tradisi harus dimaknai sebagai sebuah konteks memori dan sejarah yang melandasi proses penciptaan teks sastra. Tradisi harus dipandang, seperti kata Gadamer, sebagai konteks yang dibentuk dari sejarah dan memori penikmatan atas perjumpaan sastrawan dengan dengan ”sejarah”.

Itu berarti setiap teks sastra tidak mungkin lahir dari kekosongan sejarah dan penikmatannya atas berbagai konteks sejarah. Teks sastra mustahil diciptakan tanpa adanya memori-memori atas teks-teks sebelumnya.

Advertisement

Rifaterre dengan jelas mengatakan bahwa karya seorang penyair (sastrawan) adalah jawaban terhadap karya sebelumnya. Suatu teks sastra lama tidak mati begitu saja tapi selalu memberi inspirasi bagi teks-teks sastra selanjutnya.

Selanjutnya adalah: Teks satra yang baru lahir merupakan respons…

Teks Sastra

Advertisement

Teks sastra yang baru lahir merupakan respons terhadap teks-teks sastra sebelumnya. Tradisi memang dibentuk oleh masa lalu tetapi selalu berpotensi untuk membentuk tradisi-tradis berikutnya pada masa kini dan masa mendatang.

Tradisi, seperti kata Thomas Stearns Eliot, bukan sesuatu yang mati dan tetap hadir dalam kehidupan masa kini. Tradisi selalu memiliki potensi memberikan rangsangan penciptaan baru, memiliki daya pikat, serta memberikan pengaruh, baik secara sadar maupun bawah sadar, yang vital bagi perkembangan intelektual dan sastra.

Tradisi memberi pengaruh atau rangsangan kreativitas terhadap gagasan-gagasan, kesadaran, dan pemikiran-pemiran yang memberi warna teks-teks sastra. Dengan gamblang, Abdul Hadi W.M. menyebutnya sebagai pembentuk kesadaran tidak hanya pada masa silam, tetapi juga berkenaan dengan masa kini.

Melalui dialektika yang terus-menerus dengan tradisinya seorang sastrawan dapat menjadikan masa lalu menjadi bagian dari kekinian kita. Salah satu bentuk dan bagian dari  tradisi adalah kultur etnik. Kultur etniklah yang dibahasakan oleh Sumito A. Sayuti sebagai sangkan paran atau terminal keberangkatan dan kembali dalam proses kreatif seorang sastrawan.

Advertisement

Setiap bentuk kreativitas dalam teks sastra selalu merujuk pada konteks kultural tertentu yang muncul secara nyata dalam teks sastra yang diciptakan, baik yang tercermin dalam bentuk maupun kontennya, baik dalam gagasan tematik maupun kedalaman subjek intisarinya. Kondisi kultur etnik sastrawan Indonesia memang beragam.

Menempatkan kultur etnik sebagai pijakan kreatif dapat menyajikan gagasan alternatif, bisa berperan untuk mengukuhkan kultur etnik itu sendiri, bisa mempertanyakan kultur etnik itu sendiri, bisa untuk memberi tafsir baru pada kultur etnik itu sendiri, bahkan dapat pula menjadikan kultur etnik sebagai pijakan untuk melawan bentuk segala dominasi sebagai wujud keberpihakan pengarang.

Selanjutnya adalah: Sastrawan Indonesia modern tidak berada dalam situasi…

Advertisement

Sastrawan Modern

Sastrawan Indonesia modern tidak berada dalam situasi dan kondisi pasif. Mereka menghadirkan, menafsirkan, menciptakan tafsir baru atas berbagai hal yang diturunkan oleh kutur etnik mereka. Kultur etnik tidak hanya dipinjam namun diberi unsur baru hasil kreativitas.

Kultur etnik dalam teks sastra tidak hanya muncul sebagai imitasi tetapi imitasi kreatif, menciptakan ambivalensi imitatif sekaligus subversif. Sebagai contoh adalah kehadiran kultur etnik wayang pada sastrawan Indonesia modern dalam teks sastra memunculkan wayang yang berbeda dalam kultur etnik sebelumnya.

Demikian juga Kaba dalam khazanah kutur etnik Melalyu boleh jadi berbeda dengan Kaba dalam racikan kreatif sastrawan saat ini. Penciptaan teks sastra sesungguhnya merupakan tindakan konstitutif dalam pembentukan tradisi tematis.

Tindakan konstitutif seorang sastrawan mencerminkan tindakan menafsir, menggabungkan, memisahkan turunan kultur etniknya, bahkan bisa mendialogkan dengan kultur etnik yang lain. Hal ini menjadikan seorang sastrawan berada dalam situasi dialektika yang terus-menerus dengan kultur etniknya.

Melalui dialektika itu memungkinkan terbentuknya penciptaan kultur etnik kedua, ketiga, dan berikutnya, tanpa menghilangkan kultur etnik pertama sebagai hipotek atau memori ingatan. Dalam realitasnya, sastra Indonesia hidup dalam situasi kebinekaan. Kebinekaan mengacu pada heterogenitas dan pluralitas.

Advertisement

Kebinekaan yang mengacu pada heterogenitas merupakan keanekaan budaya yang sudah begitu saja ada secara alamiah, keanekaan budaya yang sudah terberi, sesuatu yang given. Sedangkan kebinekaan dalam konteks pluralitas mengacu pada istilah antropologi politik yang menegaskan bahwa keanekaragaman budaya merupakan kenyataan yang harus dijaga, diperjuangkan, dan dirawat dengan selalu melihat perbedaan budaya sebagai sesuatu yang sah.

Selanjutnya adalah: Persoalan sastra Indonesia dengan kebinekaan…

Kebinekaan

Persoalan sastra Indonesia dengan kebinekaan dapat dilihat dalam tiga persoalan penting, yaitu hubungan sastra dan kebinekaan, kebijakan pemerintah terhadap sastra dalam kerangka hubungan dengan kebinekaan, dan peran sastra dalam memperkuat dan merawat kebinekaan.

Kebinekaan dalam sastra, dalam pandangan Ignas Kleden, dapat ditinjau dari segi pengarang, pembaca, proses penciptaan, teks, dan genre. Sastra Indonesia mempunyai peran besar dalam menjaga, meneguhkan, dan merawat kebinekaan.

Pluralitas dalam teks sastra yang dibangun oleh pluralitas kultur etnik dapat dikenali, dihayati, dan dihargai oleh pembaca. Melalui teks-teks sastra para pembaca dari klutur etnik tertuntu dapat mengenali, menghayati, dan pada akhirnya menghargai kultur etnik yang berbeda.

Melalui teks-teks sastra, pembaca di Jawa dapat mengenali kultur etnik Aceh, kultur etnik Papua, atau yang lain (demikian sebaliknya) yang pada gilirannya akan sampai pada penghargaan atau saling menghargai berbagai kultur etnik tersebut. Melalui teks sastra seorang pembaca bisa melakukan muhibah budaya ke berbagai pelosok Indonesia.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif