Kolom
Sabtu, 5 Agustus 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Dilema Suporter

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suwarmin

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (31/7/2017). Esai ini karya Suwarmin, jurnalis Solopos. Alamat e-mail penulis adalah suwarmin@solopos.co.id.

Solopos.com, SOLO — Suporter adalah pemanis dalam permainan sepak bola. Tepuk tangan suporter, nyanyian mereka, gerak dan gesture mereka, bahkan lenguhan yang mereka lakukan secara bersama-sama adalah bagian dari pertunjukan yang mengasyikkan.

Advertisement

Untuk urusan kreasi mendukung tim kesayangan, suporter Indonesa salah satu yang—menurut saya–paling atraktif di dunia. Suporter adalah aset. Mereka rela membayar tiket, yang harganya menurut sebagian dari mereka tergolong mahal, demi mendukung tim kesayangan mereka.

Klub-klub dengan jumlah suporter besar di Indonesia, seperti Persib Bandung, Arema Malang, Persebaya Surabaya, termasuk Persis Solo, bisa mengumpulkan lebih dari ratusan juta rupiah dari tiket yang dibeli penonton pada setiap laga kandang.

Di Indonesia kadang-kadang kelompok suporter adalah aset bagi tokoh politik tertentu di daerah mereka masing-masing. Klub-klub raksasa Eropa seperti Manchester United, Liverpool, AC Milan, Juventus, Real Madrid, Barcelona, dan lain-lain menjadikan jumlah suporter yang hadir di stadion dan jumlah fans dari seluruh dunia sebagai bargaining position dalam bernegosiasi dengan calon sponsor dan pengelola hak siar televisi.

Advertisement

Klub-klub sepak bola di Eropa juga mendapat pemasukan dari penjualan kaus tim orisinal dan merchandise klub lainnya. Di Indonesia, tradisi membeli kostum asli klub belun menjadi tradisi. Sayangnya, cerita-cerita manis di atas menyisakan cerita sedih, bahkan tragedi.

Wadah suporter yang menyatukan orang-orang dari daerah atau kultur yang sama menumbuhkan kebanggaan berlebih-lebihan. Kesadaran yang rendah terhadap filosofi pertandingan membuat sebagian suporter hanya ingin melihat tim mereka menang, tak boleh ada cerita kalah.

Sebagian dari suporter itu menganggap suporter tim lawan sebagai lawan yang harus dimusuhi, bahkan nyanyian bernada ngeri, seperti “bunuh”, “bantai”, masih terdengar di stadion. Kebanggaan terhadap simbol klub yang berlebihan menjadikan sebagian suporter susah dikendalikan sejak berangkat ke stadion.

Kelompok suporter jenis ini bersikap laksana simpatisan partai politik yang berpawai saat kampanye, menggeber knalpot sepeda motor, membawa bendera besar di jalanan lengkap dengan tiang kayu, tanpa memakai helm, dan bergerombol.

Advertisement

Pengguna jalan yang lain hanya bisa menggerutu lalu minggir karena enggan terlibat persoalan. Sudah belasan hingga puluhan tahun permusuhan antarkelompok suporter dan keberingasan suporter di jalan raya ini berlangsung.

Dendam kesumat antara kelompok suporter yang satu dengan yang lain seolah-olah kutukan yang tak pernah berakhir. Sebut saja, misalnya, antara bobotoh Persib Bandung dengan Jak-Mania pendukung Persija Jakarta, antara Aremania Malang dengan Bonek pendukung Persebaya.

Selanjutnya adalah: Hubungan antara Pasoepati Solo sebagai pendukung Persis Solo…

Advertisement

Pasoepati Solo 

Hubungan antara Psoepati Solo sebagai pendukung Persis Solo dengan suporter PSS Sleman dan PSIS Semarang tidak bisa dibilang tanpa masalah. Organisasi pemerhati sepakbola SOS mencatat sejak 1995 terdapat 56 suporter sepak bola yang meninggal dunia akibat menonton pertandingan.

Perinciannya, meninggal karena terinjak-injak penonton lain (enam orang), jatuh dari kendaraan dari atau setelah menonton pertandingan (delapan orang), meninggal akibat pengeroyokan (17 orang), meninggal karena pukulan benda keras (11 orang), meninggal karena tusukan benda tajam (12 orang), meninggal karena gas air mata (satu orang), dan meninggal akibat penembakan (satu orang).

Tragedi terakhir menimpa pemuda asal Bandung, seorang bobotoh Persib Bandung, Ricko Andrean Maulana, 22. Ricko mengembuskan napas terakhir di rumah sakit setelah dikeroyok bobotoh lainnya. Ricko yang asli anggota Viking Fronline diyakini sebagai korban salah sasaran karena disangka sebagai anggota Jak-Mania.

Advertisement

Kutukan

Jumlah korban tewas terkait sepak bola bisa lebih banyak jika ditambahkan korban bentrok suporter dengan masyarakat. Korban terakhir dalam kasus ini adalah Muhammad Nur Ananda, 21, pemuda asal Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yang meninggal dunia setelah ditusuk suporter PSS Sleman.

Sampai saat in masalah bentrok antarsuporter tak pernah benar-benar selesai. Korban tewas selalu terjadi, silih berganti, dengan berbagai kasus, tapi akar masalah tak pernah benar-benar tuntas. Jangan-jangan prestasi sepak bola kita yang tak pernah menonjol di level internasional akibat kutukan mereka yang tewas akibat sepak bola.

Bagaimana mungkin sepak bola Indonesia mampu menghasilkan prestasi jika stadion sepak bola menjadi arena bentrok berbau darah? Kita bisa belajar dari Liga Jepang, liga yang semula belajar dari pola Galatama kita, namun kini berkembang jauh melampaui kita.

Stadion-stadion di Jepang dikenal ramah terhadap keluarga. Tidak sedikit penonton yang datang bersama keluarga ke stadion. Saat jeda pertandingan mereka bisa bersantai di kafetaria yang luas dan nyaman bersama keluarga. Kini sepak bola Jepang menjadi yang paling maju di Asia dan langganan ikut Piala Dunia.

Jadi suporter kita memang pemanis yang menarik dengan gerak dan lagunya yang atraktif. Suporter kita memang sumber dana bagi klub sepak bola yang didukung, namun melihat rentetan kejadian selama ini, suporter kita juga sumber masalah bagi klub dan masyarakat.

Advertisement

Kalau mereka berulah, klub didenda, misalnya denda uang sekian juta rupiah plus bermain tanpa penonton. Bagi masyarakat, suporter tidak jarang bikin onar, melempari genting rumah warga hingga mengamuk di jalan raya.

Setelah tragedi Ricko, PSSI berencana membentuk divisi khusus yang akan mengatur dan mengelola komunikasi kelompok suporter dan komunitas sepak bola. Divisi ini sudah lama menjadi rasan-rasan kelompok suporter  tetapi baru kali ini akan diwujudkan.

Tugas divisi ini jelas tidak mudah. Masing-masing kelompok suporter mempunyai keunikan sendiri, namun di sinilah seninya. Setiap kelompok suporter mempunyai faksi-faksi yang tak jarang mempunyai perbedaan tajam.

PSSI bisa memulai komunikasi dengan berbicara dengan semua kelompok suporter. Serangkaian kode etik dan disiplin harus disiapkan untuk menata penonton agar pertandingan dan kompetisi berjalan menarik tanpa ancaman kerusuhan.

Yang paling gampang, misalnya, setiap kelompok suporter mempunyai tim internal yang melakukan screening terhadap anggota yang akan masuk stadion. Mereka yang membawa batu, senjata tajam, minuman keras, bahkan ada bau minuman keras di mulut suporter dilarang masuk. Ketika hal kecil seperti ini diabaikan, tidak mengherankan kalau tragedi kemanusiaan bisa kembali berulang…

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif