Kolom
Rabu, 19 Juli 2017 - 06:00 WIB

GAGASAN : Kepompong Sastra Jawa Modern

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ibnu Wini Winarko

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Sabtu (15/7/2017). Esai ini karya Ibnu Wibi Winarko, pencinta sastra Jawa, pembaca novel berbahasa Jawa, dan peramu buku Sinopsis Novel Panglipur Wuyung jilid I dan II. Alamat e-mail penulis adalah benugila2013@gmail.com. 

Solopos.com, SOLO–Adalah wajar di kalangan pencinta sastra Jawa ada kekhawatiran tentang ramalan Jayabaya bahwa ”wong Jawa ilang Jawane”. Hal ini terlihat dari banyaknya generasi muda atau anak-anak di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur yang melupakan bahasa ibu mereka, yaitu bahasa Jawa.

Advertisement

Mereka sedikit demi sedikit menggunakan bahasa nasional–bahasa Indonesia–dalam kehidupan sehari-hari; tidak hanya waktu pelajaran di sekolahan saja namun di luar sekolahan juga lebih banyak berbahasa Indonesia.

Bahasa Jawa sempat akan dikeluarkan dari daftar pelajaran muatan lokal di sekolahan. Pergeseran tadi disebabkan berbagai sebab dan alasan. Ada karena tuntutan kemajuan zaman dan pergaulan. Beruntunglah bagi orang tua yang masih mempunyai putra-putri yang bisa menggunakan dua bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

Mungkin saja yang digunakan saat berbincang-bincang dengan kedua orang tua atau kakek dan nenek hanya bahasa Jawa ngoko. Situasi dan kenyataan tadi sekiranya masih dapat memperpanjang penundaan ramalan Jayabaya ”hilangnya orang Jawa”.

Tiga provinsi tersebut adalah tempat utama berkembangnya sastra Jawa. Sejak sastra Jawa yang masih berkutat di dalam lingkungan keraton dalam bentuk kakawin atau tembang dan lantas dibawa keluar keraton oleh pujangga-pujangga golongan priayi atau yang berpendidikan kala itu (akhir tahun 1800-an dan awal tahun 1900-an) dengan ciri masih menggunakan bahasa Jawa krama madya dalam menuliskan cerita.

Pada 1950-an muncul sastra Jawa modern atau sastra Jawa gagrak Anyar atau dikenal juga dengan roman panglipur wuyung dengan ciri menggunakan bahasa Jawa ngoko atau bahasa sehari-hari pada karya-karya sastra masa itu.

Selanjutnya adalah: Keadaan tadi bertahan hingga sekarang…

Bertahan

Advertisement

Keadaan tadi bertahan hingga sekarang. Karya sastra Jawa yang terbukukan dan tidak terbukukan (terpampang di majalah dan surat kabar) masih tetap menggunakan bahasa Jawa pergaulan. Para penulis sastra Jawa golongan tua dan dewasa tetap produktif meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak.

Mereka telah membukukan karya-karya mereka pada era milenium ini. Sebenarnya sangat disayangkan kalau karya-karya mereka hanya tercecer di majalah tanpa dokumentasi dalam bentuk buku. Karya-karya mereka akan hilang sebagai kertas pembungkus makanan.

Adalah Emi Sudarwati, pengajar bahasa Jawa di SMPN 1 Baureno, Bojonegoro, yang menciptakan inovasi belajar agar murid-muridnya menyukai dan aktif dalam sastra Jawa. Pada awalnya dia meneliti penyebab murid-murid kurang berminat terhadap penulisan crita cekak atau cerita pendek berbahasa Jawa.

Lewat media pertemanan di Facebook dan foto-foto selfie di media sosial dan hubungan pertemanan yang diunggah, para murid lantas dibimbing meningkatkan hasil belajar menulis crita cekak. Petualangan bersama murid-muridnya dimulai pada Desember 2013 dengan diterbitkannya Kumpulan Crita Cekak Lung.

Sebanyak 23 crita cekak terbukukan. Meski masih jauh dari unsur sastranya, tapi kemauan dan pengalaman menulis crita cekak adalah hal istimewa bagi para remaja. Satu cerita dibuat oleh Emi sebagai guru pengampu dan 22 cerita dibuat oleh para siswa secara berkelompok.

Meski masih banyak ejaan yang salah saat dikumpulkan, tapi tidak melunturkan semangat mereka untuk menciptakan karya sastra Jawa pada tingkat pemula. Ejaan-ejaan yang salah lantas dikoreksi sebelum naik cetak dibantu oleh J.F.X. Hoery (sastrawan Jawa di Bojonegoro).

Masing-masing kelompok terdiri atas 2-6 murid. Mereka berkerja sama mengumpulkan tugas mata pelajaran Bahasa Daerah (Jawa). Sebagian besar foto selfie bertema liburan. Sebuah tema yang mudah didapat karena hampir semua orang pernah mengalaminya.

Advertisement

Walau begitu, tentu tak boleh mengecilkan semangat atau bahkan mematikan daya kreativitas mereka. Di media sosial ada komentar yang dilontarkan oleh sastrawan Jawa golongan tua. Karya-karya para remaja itu masih dia pandang sebelah mata, tanpa memikirkan proses dalam tahapan regenerasi pengarang sastra Jawa.

Tidak menutup kemungkinan dari merekalah harapan keberlangsungan sastra Jawa bisa bertahan atau berumur panjang. Jangan menilai karya mereka pada tahapan masih duduk di bangku SMP sehingga karya mereka dianggap kurang berisi dan jauh dari nilai-nilai sastra.

Memberi Semangat

Seharusnya generasi tua memberikan semangat dan dorongan serta jadi pendamping mereka dalam berkarya. Mereka harus diajak berdialog dan para sastrawan senior membagikan ilmu dalam menulis dan mengembangkan ide cerita.

Tak mudah menciptakan generasi muda yang suka dan mau berkecimpung dalam sastra Jawa. Sekarang biarlah mereka menulis dengan ide yang sangat sederhana dan kadang ceritanya ada yang terlalu lebay dan tak masuk akal.

Bisa jadi semangat mereka dalam menulis hanyalah sebagai penghapus atau penggugur kewajiban, tapi ada juga sebagian kecil yang digarap agak serius. Berilah harapan dan pujian agar mereka ketagihan menulis crita cekak lagi dengan jumlah halaman yang lebih panjang (mereka rata-rata menulis 2-5 halaman saja).

Selanjutnya adalah: Meluncurkan sebuah buku…

Advertisement

Meluncurkan Buku

Pada Maret 2014, Emi  dan murid-muridnya kembali meluncurkan sebuah buku. Kali ini merupakan Kumpulan Drama Bocah Thukul yang berisi 37 naskah drama secara berkelompok. Tak mudah memberikan semangat bagi murid-murid agar mau menyelesaikan tugas ini. Inovasi belajar ini terus berlanjut dan berkembang hingga tahun ini.

Secara berurutan, pada Januari 2015 terbitlah buku Kelas Luar Biasa; Anak-anak Baureno Menulis. Kali ini tidak hanya melulu berisi crita cekak, namun juga berisi sajak, geguritan, cerita pendek, dan resensi buku.

Crita cekak sebanyak 15 judul dalam buku setebal 180 halaman atau mendapat sepertiga bagian dari keseluruhan buku. Kali ini ada yang berbeda. Emi berani membikin murid-muridnya berani menulis sendirian, bukan berkelompok.

Lima belas crita cekak itu bukan karya kelompok, tapi karya tunggal. Tentunya setelah melewati seleksi. Siapa saja yang mampu berkreasi dengan ide-ide hingga menghasilkan crita cekak.

Sebagai guru yang wajib mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan pangkat, penyusunan dan penerbitan buku sangat membantu. Meski tidak banyak angka yang didapat, tapi jika setiap tahun ada sebuah buku tak mustahil dapat mempersingkat kenaikan pangkatnya.

Pada Maret 2015, Emi dibantu Eny Ningsih mengumpulkan dan menerbitkan buku Kumpulan Crita Cekak Enthung. Meski ide ceritanya masih biasa saja yang berasal dari pengalaman sehari-hari, tapi bisa memberikan teladan bagi para pembaca yang sebaya.

Advertisement

Sebanyak 54 crita cekak terpampang di 179 halaman buku. Dua orang pengajar bahasa Jawa tadi tentu mempunyai harapan agar penulis-penulis muda yang diibaratkan sebagai kepompong kelak pada kemudian hari bisa menjadi kupu-kupu yang menghasilkan karya-karya  indah dan menarik.

Kemampuan Emi memberi semangat bagi murid-muridnya terbukti lagi dengan munculnya buku Angen-Angen, Kumpulan Crita Cekak pada Oktober 2015. Kali ini dia mengajak lima muridnya hingga terkumpul 11 crita cekak. Emi menulis enam crita cekak.

Jadi masing-masing murid menulis sebuah crita cekak. Tema pengalaman pribadi dan nasihat yang berguna masih  menghiasi ide para remaja itu. Ide, niat, maksud, dan contoh yang baik telah membukakan dan menginsipirasi guru dan murid-murid sekolah lain.

Pada Oktober 2015, SMPN Model Terpadu Bojonegoro menerbitkan dua  buku Kumpulan Crita Cekak Piwelinge Kanca dan Paring Tanpa Pamrih. Kedua buku tadi memuat karya siswa-siswa kelas IX atau kelas III SMP.

Proyek ini diinisiasi Sri Hartati sebagai guru pengampu dengan dibantu sastrawan Yonathan Rahardjo yang bertindak sebagai editor. Sri Hartati hanya menulis sebuah crita cekak berjudul Jangkahku Isih Amba di buku Paring Tanpa Pamrih bersama-sama dengan sembilan crita cekak lain karya murid-muridnya.

Sedangkan buku Piwelinge Kanca berisi sembilan crita cekak. Kelebihan dari kedua buku ini adalah Sri Hartati langsung memunculkan karya tunggal siswa sebanyak tiga crita cekak dan sisanya merupakan karya yang dikerjakan secara berkelompok.

Pada Maret 2016, buku setebal 182 halaman dengan judul Bungah berisi 282 gurit dan 40 crita cekak karya para siswa SMPN 1 Baureno, Bojonegoro diterbitkan. Sebuah ekplorasi yang cukup melelahkan dan menguras energi bagi Emi, Eny, dan Yonathan sebagai tim editor.

Advertisement

Murid-murid lima kelas diminta mengumpulkan tugas yang harus selesai pada hari yang telah ditentukan. Pastilah tiap tatap muka sang guru akan selalu menagih pada murid-muridnya.

Selanjutnya adalah: Hadiah short course di Belanda…

Short Course

Hasil kerja keras Emi Sudarwati sejak 2013 membuahkan hasil sebagai Juara I Lomba Inovasi Pembelajaran Guru SMP Tingkat Nasional Tahun 2016 kategori Seni, Olah Raga, Agama, dan Muatan Lokal. Hadiahnya adalah short course di Belanda 5-16 Desember 2016.

Rangkaian kertas kerja lomba dan short course dibukukan dalam Inobel (Februari 2017) lengkap dengan 28 crita cekak karya murid kelas IX dan dua crita cekak karya Emi.

Sang Surya Jago Putih muncul dari siswa dan guru SMP Ahmad Yani Baureno, Bojonegoro, pada November 2016. Buku setebal 64 halaman itu  hanya berisi delapan crita cekak yang sangat cekak dalam tujuh halaman.

Advertisement

Mereka tampil single fighter menulis crita cekak. Justru kepala sekolah mendapat jatah enam halaman di bagian artikel. Di samping itu juga berisi puisi, gurit, dan cerita pendek.

Pada Maret 2017, murid-murid MTsN 1 Bojonegoro menerbitkan dua buku Kumpulan Gurit lan Crita Cerkak berjudul Sajadah Abang dan Srengenge Jagad. Sajadah Abang merupakan karya murid-murid kelas IXA sampai IXD sebanyak 16 crrita cekak.

Srengenge Jagad berisi karya murid-murid kelas IXE sampai IXI sebanyak 24 crita cekak. Kedua buku disunting oleh Fatim Nirwati yang juga sebagai pengampu mata pelajaran.

Seorang guru mata pelajaran Bahasa Jawa di SMPN 1 Baureno yang lain; yakni Eny Ningsih, meluncurkan Kumpulan Crita Cerkak lan Gurit  Ngimpi (Maret 2017). Buku ini Berisi sebuah karya pengampu berjudul Ngimpi ditemani 31 karya murid-muridnya.

Lay out isi berbeda dengan buku yang pernah ada, membagi sebuah halaman jadi dua kolom. Ini siasat cerdik untuk mengurangi luas kertas yang tak terpakai sehingga tampilan lebih pas untuk penulisan gurit.

Kumpulan Crita Cekak Laku Sejati (April 2017) merupakan karya Sri Hartati dan siswa-siswi SMP Model Terpadu Bojonegoro atau merupakan buku ketiga dari sekolahan ini. Sri Hartati membuat satu crita cekak berjudul Keduwung bersama 29 karya mandiri para murid.

Tiap criat cekak rata-rata memerlukan 5-6 halaman. Cukup lumayan panjang bagi karya pemula. Buku terakhir dengan Emi Sudarwati sebagai pembimbingnya adalah Cathetan Kelas Pitu. Proses terjadinya buku ini dijadikan Emi sebgai crita cekak dengan judul Cathetan Ing Kelas Pitu E.

Kalau buku-buku yang terdahulu ide dan inisiatifnya berasal dari guru. Untuk buku ini malah siswa yang mengajak guru untuk membikin buku. Salut. Karya Emi bersanding dengan tujuh crita cekak karya siswa-siswa kelas VIIE.

Crita cekak karya Emi berisi keluh kesah tentang kisah buku-bukunya yang terdahulu. Semangat menulis siswa-siswanya tidak berbanding lurus dengan penjualan buku (masalah klasik di dunia sastra Jawa).

Dari keseluruhan buku yang diulas, tampak ada asa pada setiap kepala sekolah dan penggerak sastra Jawa di bumi Bojonegoro terhadap kepompong penerus sastra Jawa ini. Memang ada ejaan atau pemilihan kata yang kurang tepat dan isi yang belum berbobot, namun dengan diasah secara naluriah dan alamiah serta banyak membaca tidak mustahil akan menghasilkan karya-karya yang lebih meningkat dalam segala segi.

Semoga mereka bisa selalu istikamah dalam niat mereka. Perjalanan waktu akan menunjukkan beberapa kepompong tadi bisa menjadi kupu-kupu penerus sastra Jawa serta bisa menjauhkan lagi terwujudnya ramalan Jayabaya.

Harapan besar penerus sastrawan Jawa telah mulai ditanam dan disemai dari Jawa Timur. Mereka telah membuat monumen hidup dalam bidang penulisan (buku), meski nanti akan dilupakan tapi mereka dan hasil tulisan mereka akan selalu abadi dalam sebuah buku.

Tentu ada secercah harapan munculnya generasi baru sastrawan Jawa. Pertanyaan yang timbul setelah menelaah karya-karya mereka, di manakah kepompong sastrawan Jawa di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai asal muasal karya sastra Jawa?

Khusus di wilayah Jogja, setelah Murkane Ibu (2009) yang merupakan antologi crita cekak siswa tingkat SMA yang bekerja sama dengan Balai Bahasa Yogyakarta, (kelihatannya) tidak ada lagi kelanjutan pada tahun-tahun berikutnya. Apakah sebenarnya ada tapi tidak mau diaktualisasikan? Semoga ada yang tergerak untuk memulainya (lagi).

 

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif