News
Rabu, 3 Mei 2017 - 09:45 WIB

Pemilu Legislatif & Pilpres 2019 Serentak, Presidential Threshold Jadi Mustahil

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Yusril Ihza Mahendra (kanan) menyalami adiknya Yusron Ihza Mahendra (kiri) di Istana Negara, Jakarta, Selasa (24/12/2013) lalu. (JIBI/Solopos/Antara/Andika Wahyu)

Pemilu legislatif dan pilpres 2019 serentak dinilai mustahil menggunakan presidential threshold.

Solopos.com, JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa dengan pemilu serentak pada 2019 maka penggunaan ambang batas bagi parpol maupun gabungan parpol (presidential threshold/PT) untuk mengajukan calon presiden menjadi mustahil.

Advertisement

“Bagaimana bisa mendapatkan jumlah memenuhi syarat PT kalau Pileg dan Pilpres dilakukan serentak pada hari yang sama?” ujarnya, Selasa (2/5/2017).

Dia juga mempertanyakan pendapat Mendagri Tjahjo Kumolo yang mengatakan bahwa PT yang digunakan adala PT yang didapat partai-partai dalam pemilu sebelumnya, yakni Pemilu 2014. “Apa alasan konstitusional menggunakan PT Pemilu sebelumnya itu, tidak pernah dijelaskan Mendagri Tjahjo dan partai pendukungnya. Saya sendiri menolak pendapat ini karena saya anggap bertentangan dengan UUD 1945,” ujarnya.

Menurut yusril, Pasal 22 E UUD 45 dengan tegas mengatur bahwa pasangan calon presiden dan cawapres diusulkan (dicalonkan) oleh partai politik peserta pemilu sebelum pemilu dilaksanakan. Jadi sebelum pemilu serentak itu dilaksanakan, maka setiap partai atau gabungan partai peserta pemilu dapat mencalonkan pasangan capre dan cawapres.

Advertisement

Meskipun ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan pilpres akan diatur dengan undang-undang, namun undang-undang yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur oleh UUD 45, ujarnya. Selain bertentangan dengan UUD 45, keinginan tetap adanya PT dalam Pemilu 2019, kalau dimaksudkan agar presiden terpilih mempunyai dukungan kuat dari DPR, dia menilai tidak beralasan.

“Kalau syarat PT adalah 20% seperti Pemilu 2014, maka dapat diasumsikan bahwa hanya yang 20% itu saja yang mendukung presiden, sementara yang 80% tidak mendukung,” ujarnya.

Hal seperti di atas terjadi juga pada Presiden Jokowi. Ketika baru terpilih, Jokowi nampak kesulitan menghadapi DPR yang tidak mendukung dirinya secara mayoritas. Jokowi terpaksa harus mencari dukungan dari partai-partai lain di parlemen, di luar partai yang mencalonkannya dalan Pilpres 2014,” ujarnya, Selasa (2/5/2017).

Advertisement

“Upaya ini menyebabkan terjadinya perpecahan dalam koalisi partai yang dulu mendukung pencalonan Prabowo Subojanto. Ini menunjukkan bahwa dukungan 20% yang dijadikan patokan PT itu sebenarnya tidak banyak gunanya dalam upaya presiden mendapatkan dukungan mayoritas di DPR,” ujarnya menegaskan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif