Jogja
Rabu, 8 Maret 2017 - 23:55 WIB

PENATAAN MALIOBORO : Berat Meninggalkan Omzet Jutaan Meski Sehari

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sejumlah pekerja melanjutkan pembongkran trotoar Malioboro. Pengerjaan ini ditargetkan usia H-7 lebaran nanti. (Gilang Jiwana/JIBI/Harian Jogja)

Penataan Malioboro tahap kedua di area Pasar Beringharjo ke Selatan.

Harianjogja.com, JOGJA — Pemerintah Daerah (Pemda) segera melakukan penataan Malioboro tahap kedua, melalui pembangunan fisik di jalur semi pedestrian sisi timur Jalan Malioboro dari Pasar Beringharjo hingga titik nol kilometer pada pertengahan Maret 2017 ini. Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) berharap Pemda DIY dan pelaksana proyek dapat memberikan solusi terbaik agar mereka tetap bisa bekerja, utamanya Sabtu, Minggu dan hari libur.

Advertisement

Di kawasan jalur yang akan ditata tersebut kondisi PKL sedikit berbeda dengan penataan tahap pertama. Lebih dari separuh jalur semi pedestrian yang akan direvitalisasi ini dipenuhi PKL. Sehingga, jumlah PKL yang harus ditata saat ini lebih banyak daripada di penataan tahap pertama.

Mereka banyak memanfaatkan ruas minim antara satu hingga dua meter persegi seperti yang dilakukan Tutik, seorang pedagang oleh-oleh makanan khas Jogja. Kabar akan dilakukan penataan telah lama didengar Tutik, apalagi beberapa hari lalu sudah ada petugas pelaksana proyek yang memberikan tanda dengan pengecatan warna putih di sejumlah titik jalur.

Tutik tidak bisa berbuat banyak dan akan menuruti kebijakan pemerintah. Namun ia berharap, pemerintah memberikan solusi yang bijak bagi PKL.
“Piye meneh, gelem ra gelem, yo kudu gelem [mau tidak mau ya harus mau ditata],” ungkap Tutik saat ditemui Harianjogja.com, Rabu (8/3/2017) kemarin.

Advertisement

Ia belum mendapatkan informasi detail terkait, kapan harus libur saat nanti penataan dimulai. Akantetapi, sebagai pedagang yang sudah 18 tahun menggantungkan hidup di Malioboro, ia merasa berat meninggalkan Malioboro meski hanya sehari untuk libur. Itu tak lain karena besarnya pendapatan yang diperoleh, dengan posisi jualannya yang berukuran tak lebih dari dua meter persegi. Dalam sehari, paling sepi saja ia mendapatkan omset minimal Rp700.000. Pada saat ramai bisa mencapai Rp7 juta, terutama pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur tanggal merah.

“Dadi iso nangis tenan nek kon libur suwe-suwe [bisa menangis kalau suruh libur lama-lama],” ujarnya sembari tertawa.

Sembari mengemas bakpia, Tutik mengaku dengan luasan dua meter yang dipakai berjualan, ia hanya membayar retribusi Rp28.000 per bulan. Ditambah bayar listrik Rp2.000 per lampu serta iuran sampah dan lainnya. Bagi Tutik, hal itu tidaklah berat karena termasuk kawasan strategis sehingga banyak pembeli. Karena itu, tawaran pemindahan sementara di eks bioskop Indra, bagi Tutik belum tentu mampu mendatangkan pembeli dengan intensitas yang sama.

Advertisement

Hal yang sama juga disampaikan Muhammad Amin, seorang pemuda yang berjualan aksesoris khas Jogja. Ia memanfaatkan luasan satu meter untuk berjualan di ruas jalur semi pedestrian. Ia berharap, jika sudah ada keputusan bergantian libur saat proses pembangunan dimulai, khusus untuk Sabtu dan Minggu tetap bisa berjualan. Jika hari biasa ia hanya mendapatkan Rp50.000, namun pada Sabtu Minggu, bisa mencapai Rp500.000 omzet dari dagangan kecilnya.

“Kalau bisa membangunnya jangan lama-lama, kami sih ikut yang terbaik saja. Kalau harus pindah, gimana ya, di sana belum tentu seperti di sini soalnya,” kata pria yang tinggal di indekos Prawirodirjan, Gondomanan ini.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif