Lifestyle
Minggu, 29 Januari 2017 - 05:20 WIB

TIPS POLA ASUH : Boneka Bukan Hanya Mainan

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Boneka Barbie bertubuh gendut dan pendek (Mattel)

Tips pola asuh mengenai pemilihan boneka yang tak rasis

Harianjogja.com, JOGJA — Boneka selama ini dikenal begitu lekat dengan sosok anak-anak. Sepanjang perjalanannya, boneka kadangkala hanya dianggap sebagai seonggok mainan yang kerap menemani keceriaan anak-anak. Lebih dari itu, ada nilai-nilai menyeramkan yang dapat memengaruhi pendidikan mental anak-anak melalui sebuah boneka.

Advertisement

Secara tak sadar orang dewasa turut berperan dalam melahirkan berbagai nilai-nilai sosial, budaya, politik hingga superanatural melalui sebuah boneka. Dikemas dalam sebuah pameran bertajuk Boneka (Bukan) Hanya Mainan, Museum Pendidikan dan Mainan Kolongan Tangga menghadirkan peradaban sejarah tentang boneka dari masa ke masa. Faktanya, dalam setiap literasi, dokumen dan artikel-artikel yang berhasil dikumpulkan, peran orang dewasa sangat besar dalam sejarah perkembangan dunia boneka.

Rudi Corens, Kurator Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga, melakukan serangkaian riset penelitian bersama tim riset museum selama dua tahun untuk mengulik dunia boneka serta pengaruhnya terhadap anak-anak dan orang dewasa. Pameran yang digelar di ruang pamer Jogja Gallery ini menunjukkan, bahwa seiring perkembangannya boneka memiliki pengaruh yang sangat besar.

Advertisement

Rudi Corens, Kurator Museum Pendidikan dan Mainan Kolong Tangga, melakukan serangkaian riset penelitian bersama tim riset museum selama dua tahun untuk mengulik dunia boneka serta pengaruhnya terhadap anak-anak dan orang dewasa. Pameran yang digelar di ruang pamer Jogja Gallery ini menunjukkan, bahwa seiring perkembangannya boneka memiliki pengaruh yang sangat besar.

Dalam pengantarnya, Rudi Corens, yang juga salah satu pendiri museum ini mengungkapkan boneka bisa jadi merupakan bentuk seni tertua dalam penciptaan tiruan manusia berbentuk tiga dimensi. Peradaban awal manusia dikenal patung batu ataupun yang terbuat dari kayu-kayu tertentu. Kendati di masa lampau, patung-patung ini selalu diyakini manusia sebagai ruang bersemayamnya ruh atau dianggap memiliki jiwa.

“Orang dewasa menciptakan serangkaian penamaan untuk menyembunyikan ketidakrasionalan. Lantas boneka-boneka milik orang dewasa ini dinamai dengan jimat, maskot, gantungan kunci, benda keberuntungan atau pernik-pernik perhiasan,” tulis seniman asal Belgia itu.

Advertisement

Corens menuturkan boneka bukan hanya mainan, tetapi juga dapat menjadi objek edukasi yang mendorong anak meneladani contoh positif dari perilaku orang dewasa. Tentunya, diharapkan melalui cara yang paling kreatif. Boneka dapat menjadi teman yang paling disayangi anak-anak dan menjadi teman berdialog.

Namun, tanpa disadari boneka-boneka yang diciptakan memperlihatkan simbol dari ide orang dewasa yang sebagian besar tak dipahami dan terasa begitu asing bagi anak-anak. Pameran ini mencoba menghadirkan perspektif orang dewasa tentang boneka. Di mana boneka dalam perspektif orang dewasa banyak dipengaruhi nilai-nilai tertentu dalam pembuatannya.

“Kami mengambil sudut pandang orang dewasa tentang boneka, seperti boneka yang dipengaruhi politik, sosial budaya, superanatural, agama, bahkan tentang rasisme,” ungkap Koordinator Komite Kerja Museum Kolong Tangga, Irma Restyana, Selasa (18/1/2017).

Advertisement

Orang tua masa kini, mengenal Barbie sebagai mainan yang hampir selalu ada untuk menemani hari-hari anak perempuan mereka. Sosok manusia sempurna yang digambarkan pada sosok Barbie, yakni berkulit putih, rambut panjang, tubuh langsing dengan tinggi semampai dan leher yang panjang. Seolah memberikan gambaran tentang perempuan yang cantik itu harus langsing, berkulit putih dan tubuh tinggi.

“Dalam riset kami, hampir tidak ditemukan boneka Barbie dengan kulit hitam. Nilai rasisme yang terkandung dalam penciptaan sosok boneka ini seolah dikomunikasikan kepada anak-anak,” ungkap Irma.

Tanpa disadari edukasi tentang rasisme telah ditanamkan secara tidak sadar dalam sebuah mainan. Rasis merupakan keyakinan seseorang yang menilai karakteristik turunan sejak lahir secara biologis akan menentukan perilaku manusia. Doktrin rasisme, seperti ditulis ushmm.org, menegaskan darah sebagai penanda identitas bangsa atau etnis tertentu.

Advertisement

Seperti paham rasisme yang diyakini oleh Nazi yang menganggap bangsa Jerman dan bangsa Eropa utara lainnya adalah ras Arya yang unggul. Teori ras Nazi inipun kemudian berujung pada serangkaian pembantaian yang dilakukan tentara pimpinan Adolf Hitler di masa Perang Dunia II.

“Saya pikir tak ada dosa yang lebih besar dari pada kesombobongan orang-orang yang berkulit putih dan merasa lebih mulia, dibandingkan mereka yang berkulit gelap,” tulis Corens pada salah satu dokumen tentang perkembangan boneka berlatar rasisme di salah satu sudut ruang pamer.

Bukan saja tentang rasisme, boneka diyakini dapat menjadi alat yang ampuh untuk memengaruhi pendidikan mental anak. Mainan dan Politik di salah satu sudut ruang pamer ini memberikan gambaran bagaimana pemerintah maupun kalangan elit politik hingga pendidik dapat saja menjadikan mainan sebagai alat untuk membangun gagasan baik atau buruk.

“Melalui pameran ini, kami ingin memberikan edukasi ke masyarakan bahwa boneka tidak sesederhana mainan. Kami ingin mengajak orang tua untuk berhati-hati dalam memilih mainan untuk anak-anaknya,” imbuh Irma.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif