Jogja
Senin, 9 Januari 2017 - 15:04 WIB

LAPORAN KHUSUS : Ancaman Laten Gelombang Pasang Wisatawan

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bangku taman di Pedestrian Malioboro depan Gedung DPRD DIY menarik wisatawan untuk berswa foto di momen libur panjang Maulud Nabi, Senin (12/12/2016). (Holy Kartika N.S/JIBI/Harian Jogja)

Laporan khusus Harian Jogja edisi Senin (9/1/2017) mengulas tentang dampak melonjaknya wisatawan di wilayah ini

Harianjogja.com, JOGJA—DIY patut menepuk dada berkat gelombang pasang kedatangan pelancong dalam beberapa tahun terakhir. Namun, ada ancaman laten yang dapat menyurutkan tren bagus ini.

Advertisement

Tanda-tanda DIY diminati untuk pelesiran sudah bejibun. Catatan Dinas Pariwisata memperlihatkan tambahan wisatawan dari 2014 sampai 2016 mencapai empat juta, dari 16.774.235 menjadi 21 juta. Uang yang masuk ke provinsi ini juga lebih banyak ketimbang uang yang keluar.

Menurut data Bank Indonesia selisihnya Rp4,2 triliun sepanjang tahun lalu. Grafik aliran uang itu menunjukkan DIY mulai jadi daerah penyedia jasa, utamanya dalam ihwal pelesiran.

Namun, kabar baik ini juga menyimpan sisi gelap. Prasarana wisata kurang oke. Di beberapa tempat, harga tiket dinilai kemahalan. Sementara, pemerintah kepayahan mengatur beragamnya objek wisata dan banyaknya turis yang datang.

Kepala Bidang Pengembangan Produk Wisata Dinas Pariwisata Gunungkidul Harry Sukmono mengatakan tidak ada prosedur baku dari pemerintah bagi kelompok sadar wisata (pokdarwis) untuk memutuskan besaran tarif masuk wisata. Menurutnya sulit bagi pemerintah membuat standar karena layanan tiap paket wisata berbeda-beda.

“Besaran tarif diserahkan saja ke kelompok wisata. Mereka menetapkan tarif sesuai harga pasar dan fasilitas yang diberikan. Misalnya di Gua Pindul ada jasa pemandu Rp35.000 beda lagi dengan Nglanggeran atau Kali Suci. Di Kali Suci sampai Rp65.000,” jelas Harry Sukmono, Jumat (6/1/2017).

Pemerintah hanya dapat mengingatkan agar pengelola wisata menerapkan tarif secara wajar. Ia mencontohkan di embung Nglanggeran. Pemerintah hanya memasang tarif retribusi Rp2.000.

Namun wisatawan membayar Rp15.000 pada malam hari dan Rp10.000 pada siang hari. Biaya tambahan diputuskan oleh pengelola wisata.

Advertisement

Ketua Pokdarwis Kawasan Wisata Nglanggeran Sugeng Handoko mengatakan tarif dinaikkan berkali lipat karena pengelola ingin membatasi jumlah pengunjung ke kawasan Nglanggeran yang merupakan geopark dunia tersebut. Di kawasan itu terdapat gunung api purba, embung dan sejumlah objek wisata lainnya. Kelebihan wisatawan berpotensi merusak kawasan geopark.

“Tahun 2015 kami mencoba menggeser segmen pasar dan sudah ada kenaikan tiket masuk. Sehingga yang datang tidak terlalu banyak, tapi memperoleh wisatawan yang lebih bisa menjaga alam karena menghargai lingkungan,” kata Sugeng Handoko.

Beberapa tahun terakhir tren kunjungan ke kawasan wisata Nglangeran terus melonjak. Dari semula hanya 1.440 wisaatwan pada 2007 lalu melonjak menjadi 325.303 wisatawan pada 2014.

Gunungkidul juga masih menghadapi persoalan fasilitas minim. “Salah satu penyebabnya karena status kepemilikan area wisata,” ujar Harry Sukmono.

Di Watu Bolong atau kawasan Pantai Ngrumput dan Puncak Kosakora, sebagian besar lahan telah dibeli oleh perorangan. Namun fasilitas wisata belum komplet.

Di camping ground Pantai Watu Bolong dan Ngrumput, Kecamatan Tanjungsari, sejumlah wisatawan menggerutu karena tidak adanya toilet dan kamar mandi di dekat area berkemah.

Sementara warga setempat juga tidak berani membangun toilet atau kamar mandi di kawasan yang bukan milik mereka. “Pemerintah saja tidak bisa membangun fasilitas di lahan yang sudah jadi hak privat, yang mungkin kami lakukan adalah berkomunikasi dengan privat atau perorangan itu. Bagaimana caranya ada fasilitas,” papar dia.

Advertisement

Bersambung halaman 2, Parkir Kurang

Parkir Kurang

Lain lagi yang dihadapi Kulonprogo. Area parkir yang kurang jembar menjadi problem utama yang dipikirkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kulonprogo.

Kuat Tri Utomo, Kepala Seksi Kapasitas dan Ekonomi Kreatif Dinas Pariwisata, mengatakan sejumlah lokasi parkir di dekat laguna Pantai Glagah tak bisa dipakai pada liburan pengujung tahun lalu. Area parkir terendam bajir sehingga kapasitasnya berkurang. Bahkan, mobil pengunjung pantai diparkir sembarangan di bahu jalan. Lalu lintas pun terganggu.

“Glagah sempat ditutup tiga jam juga karena persoalan parkir itu,” ujar dia, Minggu (8/1/2017). Sebenarnya, parkir di pantai Glagah diperkirakan bisa menampung hingga 500 kendaraan. Sayangnya, perkiraan itu meleset karena pengunjung lebih banyak. Sedikitnya 28.208 wisatawan memenuhi pantai ini selama empat hari.

Menurut Kuat, jika lahan bekas sirkuit motorcross bisa dimanfaatkan sebenarnya masalah parkir ini bisa rampung. Tanah lapang di sisi timur area parkir Pantai Glagah mampu menampung sekitar 300 sampai 400 kendaraan lagi. Namun, tanah tersebut masih terlalu gembur sehingga butuh beberapa waktu lagi untuk padat agar bisa dipakai memarkir mobil atau motor.

Area parkir di Kalibiru dan Waduk Sermo yang belakangan kian kondang juga masih sempit. Tempat pelesiran Kedung Pedut, Kembangsoka, dan Curug Glimpang juga memiliki perasalan serupa.

Advertisement

Di luar kebingungan pemerintah menyiapkan tempat untuk menyimpan kendaraan wisatawan, Kulonprogo relatif tidak memiliki persoalan serius. Tarif masuk objek wisata masih normal.

“Kalibiru setiap libur atau tanggal merah memang menjadi Rp10.000, tetapi setelah itu kembali ke harga normal,” ujar Kuat.

Beragamnya standar operasional penyelenggaraan kawasan wisata dihadapi Bantul.

Kepala Seksi Pemasaran dan Kerja Sama, Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul Issri Putranti mengatakan belum ada standar tertulis untuk pelayanan wisata. Penyelenggaraan wisata mengacu pada slogan Sapta Pesona yakni dengan menciptakan kondisi aman, nyaman, tertib dan bersih di lokasi wisata.

“Kami mewujudkan Sapta Pesona dengan membina dan pelatih pelaku pariwisata untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, terutama di pokdarwis,” ujar dia, Minggu (8/1/2017).

Pembinaan juga dilakukan untuk menyelesaikan masalah tarif parkir dan retribusi wisata yang kadang kala memakai prinsip aji mumpung.
Pengurus Pokdarwis Wisata Hutan Mangrove, Pantai Baros, Desa Tirtohargo, Wawan mengatakan standar prosedur pelayanan pariwisata disusun pokdarwis. Dinas Pariwisata, kata dia, hanya membina dan melatih.

Menurutnya tidak ada ketentuan khusus tentang tarif wisata. Pokdarwis Wisata Hutan Mangrove berkonsultasi dengan Dinas Partiwisata sebelum menentukan ongkos masuk. “Untuk mengetahui apakah tarif yang kami berlakukan sudah seseuai atau belum,” ujar Wawan.

Advertisement

Biaya ke Hutan Mangrove Pantai Baros berkisar Rp20.000 hingga Rp100.000, tergantung pada fasilitas yang diberikan. Pelancong akan mendapay layanan edukasi, berkeliling hutan dan menanam mangrove manakala membayar Rp20.000.

Jika memberi Rp100.000, wisatawan disuguhi fasilitas lengkap, mulai dari berkeliling hutan mangrove dengan perahu, diajak naik kreta wisata, membuat telur asin dan memancing lele. “Belum ada yang komplain tentang harga dan fasilitas, hanya biasanya mengeluh kepanasan,” ujar dia.

Koperasi Notowono yang mengelola hutan pinus di Desa Mangunan, Kecamatan Dlingo juga secara mandiri standar pelayanan wisata. Mereka juga menentukan tarif sendiri. “Kami tidak pernah menikkan tarif dalam kondisi apapun termasuk libur lebaran. Citra pariwisata Jogja adalah harga mati, tidak bisa ditawar-tawar lagi,” ujar Katua Koperasi Notowon, Purwo Harsono.

Menurut Purwo, mulai 2017 pengelolaan Hutan Pinus akan sesuai dengan Perda No.4/2015 tentang Pelestarian Habitat Alami. Fasilitas di objek wisata akan dibangun oleh pemerintah.

Tarif retribusi dan parkir wisata juga akan disesuaikan dengan perda tersebut. Ongkos parkir sepeda motor Rp1.000, mobil Rp2.000, bus Rp5.000 dan retribusi per wisatawan adalah Rp2.000.

Bersambung halaman 3, Lebih Maju

Lebih Maju
Langkah yang lebih maju diambil Sleman. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Sleman akan merancang standard operating procedure pengelolaan wisata oleh desa wisata dan pokdarwis.
Tujuannya memperjelas aturan bagi pengelola wisata yang akhir-akhir ini berkecambah di Sleman.

Advertisement

Sekretaris Disbudpar Sleman, Endah Tri Widiastuti, mengatakan acuan pengelolaan kawasan wisata masih dibuat oleh desa atau pengelola. Sementara, Pemkab Sleman tinggal menyetujuinya.

Tahun ini, Disbudpar Sleman akan membuat rujukan soal penarikan retribusi, tarif parkir, pengelolaan oleh-oleh dan pengelolaan kuliner. Kawasan wisata yang baru dibuka harus dijalankan sesuai dengan ketentuan tersebur. “Aturan tersebut harus memajukan kawasan wisata,” ujar dia.

Ketua pengelola Desa Wisata Sambirejo, Prambanan, Kholiq Widianto mengatakan, pengelolaan kawasan wisata Tebing Breksi berlandaskan peraturan desa (perdes).

“Selama belum ada payung hukum dari pemkab, kami menggunakan perdes. Kemudian karena kami juga masih berkembang, retribusi kami pungut seikhlas pengunjung. Yang sudah ditentukan tarif parkirnya,” ucap dia.

Aji mumpung dengan cara menaikkan tarif, baik jasa maupun kuliner, justru lebih banyak terjadi jantung Kota Jogja.

Selama libur Natal 2015 dan Tahun Baru 2016, banyak keluhan wisatawan yang berkunjung di Kota Jogja, beberapa di antaranya sempat menjadi viral di dunia maya. Ribuan kendaraan yang masuk ke Kota Jogja juga tidak didukung dengan taman parkir memadai. Mobil kesulitan mencari lahan parkir di jalur menuju kawasan Malioboro.

Parkir liar marak. Badan jalan yang seharusnya tidak jadi tempat parkir justru dimanfaatkan untuk berhenti kendaraan. Motor dipajaki Rp5.000 hingga Rp10.000 dan mobil bisa mencapai Rp.30.000. Selain ada beberapa tempat kuliner yang justru mematok harga tinggi. Yang paling mencengangkan adalah tarif odhong-odhong di Alun-Alun Selatan yang mencapai Rp150.000 sekali putaran

Advertisement

“Kepariwisataan menjadi bagian strategis karena DIY ada tiga pilar, mulai pendidikan budaya dan kepariwisataan. Keberhasilan [kepariwisataan ] tidak lepas dari dukungan berbagai sektor,” ungkap Kepala Dinas Pariwisata DIY Aris Riyanta pekan lalu.

Aris mengatakan keluhan tentang objek wisata banyak terjadi di Kota Jogja. Dia mengapresiasi kawasan wisata Tebing Breksi, Prambanan dan Kaliurang, Pakem, Sleman yang mematok tarif normal sehingga tidak memancing gerutu pelancong.

“Tarif terlalu tinggi sejatinya bisa merugikan pelaku wisata,” kata dia.
Turis bakal kecewa dan kapok datang lagi. Sosialisasi agar pengelola objek wisata di luar naungan pemerintah tidak menaikkan tarid secara asal-asalan telah dilakukan Dinas Pariwisata DIY. Pelaku wisata diminta untuk berpikir jangka panjang sehingga wisatawan betah dan senantiasa kangen untuk berkunjung lagi.

Pembekalan bagi pelaku wisata telah diberikan melalui bimbingan teknis. Sayangnya mereka kadang mengabaikannya dan tetap mematok ongkos tinggi.

“Itu tadi. Orang kadang tidak berpikir untuk jangka panjang,” kata dia. (Irwan A. Syambudi & Sekar Langit Nariswari)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif