Lifestyle
Jumat, 7 Agustus 2015 - 00:20 WIB

TERAPI ANAK AUTIS : Sekolah Ini Gunakan Gamelan untuk Terapi Anak Autis

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Beberapa siswa Sekolah Khusus Autis Bina Anggita Jogja memainkan alat musik gamelan pada acara peresmian gedung Pusat Layanan Autis di Bantar Kulon, Sentolo, Kulonprogo. (Harian Jogja/Rima Sekarani)

Terapi anak autis salah satunya bisa menggunakan gamelan

Harianjogja.com, KULONPROGO- Alat musik tradisional gamelan bisa dimanfaatan menjadi media terapi bagi anak autis.

Advertisement

Penampilan sembilan siswa Sekolah Khusus Autis Bina Anggita Jogja memukau para tamu undangan acara peresmian gedung Pusat Layanan Autis di Bantar Kulon, Sentolo, Kulonprogo, beberapa waktu lalu. Bersama sejumlah guru, anak-anak autis berbagai usia itu tampak lihai memainkan nada-nada tembang Jawa layaknya grup musik gamelan profesional.

Selepas turun panggung, para siswa kembali ke dunianya masing-masing. Mereka memang berkumpul bersama, tapi hampir tidak ada interaksi antar siswa. “Meski kelihatannya sudah bisa interaksi, tapi sebenarnya masih sendiri-sendiri,” ungkap Muhammad Yasin, salah satu guru pendamping.

Pria yang akrab disapa Yasin itu kemudian mengajak Harian Jogja bertemu dengan dua siswanya. Salah satunya bernama Fauza. Dia tampak tidak sabar ketika diminta berdiri tenang dan menjawab pertanyaan. Tubuhnya terus bergerak-gerak dan tatapan matanya pun tidak bisa fokus. Namun, dia masih bisa menerangkan rutinitas latihan gamelan yang dijalani. “[Latihan] sejam setiap hari selasa. Main bonang,” jawabnya singkat.

Advertisement

Sambil tersenyum lebar, Fauza pun langsung pergi begitu Harian Jogja ganti bertanya pada temannya, Fikaris Arka. Tidak jauh berbeda, remaja berusia 17 tahun itu juga segera berlari setelah menjawab pertanyaan yang dibuat sederhana.  “Tidak susah. Tidak grogi,” begitulah ucapnya sebelum meninggalkan kami.

Yasin menjelaskan, autis merupakan gangguan perkembangan kompleks pada kemampuan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Itulah yang menyebabkan siswanya tidak bisa menyatu dengan teman-temannya. “Dengan teman itu lebih sulit. Namun dia bisa cukup menyatu dengan guru atau pendamping,” katanya.

Lemahnya kemampuan fokus dan konsentrasi menjadi tantangan terbesar ketika melatih bermain gamelan. Selain itu, tidak ada target waktu penyampaian materi. Sebab, daya pemahaman anak autis sangat dipengaruhi tingkat inteligensi dan dukungan lingkungan sekitar. “Ada yang lama. Ada juga yang baru sekali datang langsung bisa. Kecepatan meresponnya berbeda-beda,” ungkap Yasin.

Advertisement

Lulusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu juga percaya jika autis bisa disembuhkan. Beberapa siswanya mampu melanjutkan studi di perguruan tinggi. Meski demikian mereka akan tetap memiliki ciri khusus berupa perilaku spesifik tertentu. “Disiplinnya bahkan bisa mengalahkan kita karena mereka hanya menghapalkan rutinitas,” ujar Yasin.

Rutinitas itu juga yang diterapkan saat mengajarkan cara memainkan gamelan. Gamelan pun secara sengaja dijadikan media terapi konsentrasi dan mengurangi hiperaktivitas. “Dia yang semula suka cemas dan tidak tenang menjadi lebih tenang dan perilaku autisnya berkurang perlahan,” ucap pria 45 tahun yang mengaku telah menjadi pendamping anak autis sejak 1994 itu.

Grup musik gamelan di Sekolah Khusus Autis Bina Anggita Jogja mulai dirintis pada 2008 lalu. Saat itu, hanya ada empat siswa yang bergabung dan masih lebih banyak posisi yang diisi guru pendamping. Anggotanya kemudian perlahan terus bertambah. Tahun 2013 kemarin, mereka bahkan mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk kategori grup karawitan anak autis pertama di Indonesia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif