Soloraya
Minggu, 1 September 2013 - 05:30 WIB

ASALE : Masjid Jami’ Karangmojo Karanganyar

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Gerbang Masjid Jami' Karangmojo, Tasikmadu, Karanganyar. Masjid yang telah berusia ratusan tahun itu kini berada dalam satu kompleks dengan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Karangmojo. Foto diambil belum lama ini. (Tri Indrawati/JIBI/Solopos)

Solopos.com, KARANGANYAR — Dentuman suara bedug berusia ratusan tahun mengiringi gema adzan yang memanggil masyarakat muslim di Desa Karangmojo untuk melaksanakan ibadah salat duhur.

Bedug tua itu berada di serambi depan Masjid Jami’ Karangmojo, Tasikmadu, Karanganyar, yang juga telah berumur lebih dari satu abad.

Advertisement

Masjid yang kini berada dalam satu kompleks Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Karangmojo itu merupakan saksi penyebaran Islam di Bumi Intanpari pada masa pemerintahan Mangkunegara III. Hingga kini, tempat peribadatan yang dibangun pada 1865 itu masih berdiri kokoh dan ramai dengan aktivitas keagamaan.

Istri cucu buyut dari pendiri Masjid Jami’, Sri Sunaryati, 68, mengatakan Masjid berikut bedug tua itu adalah hadiah dari Mangkunegara III untuk kakek buyutnya, Kyai Sirojudin.

Advertisement

Istri cucu buyut dari pendiri Masjid Jami’, Sri Sunaryati, 68, mengatakan Masjid berikut bedug tua itu adalah hadiah dari Mangkunegara III untuk kakek buyutnya, Kyai Sirojudin.

Menurutnya, Sirojudin merupakan ulama terkemuka yang kali pertama membawa ajaran Islam di Karanganyar dan menetap di desa kecil bernama Karangmojo. Dia diminta mengajar ilmu agama dan mengaji oleh Mangkunegara III, sehingga ditawari hadiah sebagai imbalan.

“Awalnya ditawari akan diberi tanah perdikan dari Pabrik Gula Tasikmadu sampai Jongkang, tapi kakek saya tidak mau. Beliau memilih dibuatkan masjid di Desa Karangmojo untuk menyebarluaskan ajaran Islam,” urai Sri saat dijumpai Solopos.com di kediamannya di Desa Karangmojo RT 002/ RW 007, Senin (22/7/2013) siang.

Advertisement

Sementara itu, Ketua Takmir Masjid Jami’, Achmad Busyairi, mengatakan sebelum dibangun oleh Mangkunegara III, Masjid Jami’ masih berupa sebuah surau kecil di tengah desa. “Setelah mendapat bantuan dari Mangkunegara, Masjid ini dibangun, tapi tak sebesar sekarang. Atapnya berupa genteng sirap, dindingnya tembok bata yang tebal, dan di tengah-tengah terdapat empat cagak kayu jati,” terang dia.

Masjid tua itu telah beberapa kali direnovasi. Pada 1910, pengurus Masjid Jami’ membangun serambi depan yang biasa digunakan untuk tempat belajar membaca alquran. Setelah itu, mereka juga menambahkan serambi pada sisi kanan dan kiri Masjid pada 1991.

“Dulu di serambi depan juga ada enam buah cagak tapi semuanya sudah di lepas, yang tetap dipertahankan hanya cagak di dalam bangunan utama Masjid, tapi dilapisi dengan kayu ukir. Lantai dan dinding Masjid juga sudah dilapisi keramik,” jelasnya.

Advertisement

Achmad menuturkan anak dari Kyai Sirojudin yakni Kyai Mohammad Soleh mendirikan sebuah pondok pesantren (Ponpes) di kompleks Masjid tersebut pada 1890-an. Ponpes yang juga diberinama Masjid Jami’ Karangmojo itu banyak diikuti oleh santri dari berbagai daerah.

“Sebagian besar santrinya merupakan orang yang sudah berumur, mereka belajar baca tulis Alquran dan ilmu agama dari Kyai Soleh,” ungkap pria yang juga merupakan keturunan dari Kyai Sirojudin itu.

Pada 1969, ponpes itu diubah menjadi sekolah formal atau madrasah lantaran semakin santri yang belajar kian berkurang. Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah itu juga dikelola oleh keturunan Kyai Soleh dan digunakan untuk menampung anak-anak desa yang tak mampu membayar biaya sekolah.

Advertisement

Seiring berjalannya waktu, sekolah itu diambil alih oleh pemerintah untuk dijadikan sebagai madrasah berstatus negeri. “MTSN sudah dipindah, yang masih tersisa di sini MIN dan TK Islam,” imbuh dia.

Sang pendiri ponpes, Kyai Mohammad Soleh, kini telah dimakamkan di samping bangunan masjid. Seorang warga Karangmojo yang biasa membersihkan Masjid menyatakan kerap melihat beberapa pejabat yang datang berziarah maupun berdoa hingga malam hari di tempat peribadatan itu.

“Apalagi kalah musim Pemilu, pasti banyak yang datang ke sini. Dulu Pak Jokowi dan Bu Rina juga beberapa kali berdoa di sini,” ungkap dia.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif